TOUR MAJOJA - 30 Jam di Jogja

Dari Jakarta, bus bergerak menuju Jogja. Pikiran awal gue tentang study tour ini adalah perjalanan tiap kota akan menggunakan pesawat. Realitanya, perjalanan dari Jakarta ke Jogja ini dilakukan memakai bus. Gue ngga terlalu masalah sama naik bus. Yang bikin gue ngga nyaman adalah waktu perjalanannya. Dengan menggunakan bus, ditingkat kemacetan jalan tol yang super brutal menjelang tahun baru, kami sukses berada didalam bus selama -+ 16 jam.

Diperjalanan gue hanya terhibur oleh pemandangan luar yang silih berganti, kadang kota, kadang desa. DVD yang dimainkan tour gate adalah album Om Sera, yang kalau kalian tahu itu adalah semacam sekumpulan pemusik memainkan lagu jawa dengan aliran pop. Ada Via Vallen juga disana. Dari Jakarta, beberapa belas lagu ini terputar secara terus menerus. Belasanu inilah yang menjadi lagu tidur gue sepanjang perjalanan. Saking terbiasanya, sampai-sampai ada teman yang tidur ngigo.

"VIA VALLEN! NYANYI LAGI! AYO!"

Kami melihat dan tidak berani menganggu mimpi indahnya.

Dari perjalanan menuju Jogja, kami telat untuk makan malam. Sopir bus tidak bisa melaju cepat dikarenakan terjebak macet. Gue melihat dari jendela, plang jalan menunjukkan kami sudah di Bekasi. Gue sebenarnya ngga lapar juga, walaupun sudah menaiki tiga wahana ekstrem. Untungnya mereka semua sudah tertidur ketika bus berjalan. Jadi, walaupun lapar, mereka tidak merengek.

Guru gue memanggil si tour gate, lalu menanyakan kapan kita akan makan malam. Selama duduk dibelakang, gue merasa sudah menjadi asisten guru pembimbing. Gue sudah tau gosip-gosip seputar para guru lewat pembicaraan yang tidak sengaja gue dengar. Duduk dibelakang ada enak dan tidak enaknya. Enaknya adalah gue bisa mendapatkan dua kursi untuk sendiri. Ngga enaknya, gue menjadi saksi bisu antara pembicaraan kedua guru gue.

Setelah mendapati keheningan didalam bus, gue memilih untuk tidur. Entah sudah berapa jam gue tidur di bus, yang jelas waktu gue dibangunkan waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Waktu itu adalah waktu makan malam kami, di sebuah warung makan yang terletak disebuah pemukiman, mirip-mirip pasar namun tidak bisa gue perkirakan dengan jelas karena waktu itu sudah malam dan remang-remang. Beberapa warung makan dan kios masih terbuka. Kami masuk kedalam untuk mengambil tempat. Tidak banyak orang yang makan, cuma kami peserta study tour dan satu orang yang baru-baru saja selesai makan.

Pilihan waktu itu adalah bakso atau nasi. Firasat gue berkata pesanlah nasi, maka dari itu gue mengambil nasi. Karena lauknya lumayan banyak, gue cobain semua. Porsi nasi gue kurangin untuk mencegah bocor dijalan.

Gue jarang banget minum teh namun selama study tour ini gue jadi sering minum teh. Gue sama sekali ngga minta, namun ada saja alasan kenapa gue harus minum teh. Salah satunya adalah minuman di warung selalu menyediakan teh, namun tidak air putih. Air putih ada, tapi beli. Malam itu gue meminum teh sampai habis guna menghangatkan diri dari dinginnya AC bus. Sialnya, tempat duduk gue bagian belakang, AC-nya bocor. Jadi mau ngga mau, ketika AC menyala gue sudah siap jadi Olaf-nya Frozen.

Setelah minum teh, gue beli air untuk jaga-jaga ketika gue haus dijalan. Gue ngga tahu seberapa jauh lagi Jogja dari sini, yang jelas gue harus sedia air sebelum haus.

Makan telah selesai, buang air kecil juga. Itu gue lakukan sebelum makan. Karena takut, gue manggil teman yang sevisi-misi dengan gue. Agar tidak terlihat takut, gue tanyain ada yang mau kencing atau tidak biar gue temenin. Pada sebuah malam ditempat yang asing, gue ngga boleh sok berani. Entah sudah berapa toilet yang gue masuki selama perjalanan, namun baru menemukan dua toilet yang benar-benar gratis. Sisanya bayar. Untungnya, toilet yang ini tidak bayar, namun jika tidak bayar gue sudah paham konsekuensinya, biasanya kurang air atau toiletnya bau.

Bus kembali melaju, sebelum tidur gue ngecek hape yang tadi malam gue cas. Didalam bus ini hanya ada empat colokan. Dari 21 orang didalam bus, semua masing-masing memiliki hape. Bayangkan saja, berapa jumlah peluang gue mendapat colokan. Ngga ada yang tau. Disaat orang-orang sedang terlelap, biasanya hape yang mereka charge sudah dalam keadaan putus dari colokan. Gue sering memanfaatkan kesempatan disaat mereka terlelap, dimana gue akan berjalan ke tengah bus dan mencabut charge hape mereka, lalu mengganti dengan hape gue. Mwhehe.

Hape gue sudah penuh, namun gue masih harus hemat. Gue tidak menyalakan, gue hanya menaruh kedalam kantong dan mengambil power bank untuk gue isi juga.

Malam itu gue melanjutkan tidur lebih cepat dari yang lain. Ketika tidur gue tidak ingat apa-apa, paginya gue langsung terbangun dengan badan tergonjang-ganjing karena bus berjalan dimedan yang tidak rata. Gue membuka gorden, suasana pedesaan kembali mengiringi perjalanan. Sawah terhampar luas, rumah yang jarang-jarang, tidak ada gedung tinggi, hanya tiang listrik dan gunung yang menjulang. Dalam perjalanan, gue mendapati diri sudah kelaparan. Gue mengecek jam sudah pukul 8 pagi.

Semua sibuk memainkan hape, gue berdiri membiarkan badan gue lurus sejenak. Gue berjalan ketengah, meraba bagasi atas bus, lalu meraih powerbank gue. Seperti dugaan, sudah terlepas dari colokan. Kita hidup dibus sudah seperti hidup dialam liar.

Gue kembali dan duduk memandangi sekeliling. Karena sudah mulai bosan, gue menyalakan hape. Instastory pertama dimulai pagi itu. Keasyikan bermain hape membuat batrei gue tinggal dikit. Gue ingin mengisi ulang hanya melihat colokan masih penuh. Gue ingin mencabut hanya takut terjadi aksi pemberontakan.

Gue membiarkan hape gue lowbat total dengan mendengarkan lagu secara acak di Spotify. Setelah lowbat, gue mengganti dengan hape kecil. Eh, gue baru sadar saat itu, belum sempat ngabarin. Seperti biasa, gue sms singkat agar orang rumah nelpon. Beberapa menit kemudian, telepon masuk. Gue angkat sambil menjawab mamakai earphone. Mama hanya menanyakan apa kabar gue. Lalu menanyakan kenapa naik bus. Gue menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari perjalanan.

Telpon gue tutup. Percakapan selesai diiringi bus yang masih terus berjalan.

Hape komunikater yang gue bawa sebenarnya bisa memutar musik, ada memorinya. Hanya lagu yang tidak ada. Dari hape itu, gue menemukan Radio. Untungnya waktu itu gue bawa earphone. Gue mencari saluran secara otomatis, lalu empat saluran gue temukan. Gue buka yang pertama, isinya musik dangdut Jawa. Gue ganti ke saluran dua, isinya sebuah ceramah. Gue pindah ke saluran tiga, isinya musik. Gue merasa sudah tidak perlu ganti saluran.

Lagu yang gue dengar random sekali, dan apa yang gue dengar sangat asing ditelinga gue. Bus masih berjalan melintasi pedesaan. Semakin berjalan, saluran semakin berbunyi kresek. Gue memutuskan mencari saluran kembali, hasilnya ada dua saluran. Gue cek yang pertama, isinya ustad sedang tadarus. Gue ganti ke saluran kedua, isinya suara kresek. Gue mencoba mencari saluran kembali, terakhir, radio hanya menemukan satu saluran. Isinya, suara kresek total.

Waktu berlalu, orang-orang di bus sudah bergerak tidak karuan. Beberapa ada yang hanya duduk diam, entah karena capek atau lapar. Gue sendiri waktu dalam keadaan lapar siap memangsa. Hanya, gue menghindari mengoceh terlalu banyak, apalagi belakang gue Bu Guru. Karena tidak mau mengoceh, gue mencoba menghasut teman gue, Fadil, agar menanyakan waktu sarapan. Jelas, Fadil tidak mau.

Belum sempat kami tanyakan, lagi-lagi Guru memanggil gue, lalu menanyakan apakah gue lapar atau tidak. Jawaban paling aman gue waktu itu,"Saya ngga terlalu, Bu. Tapi ngga tau yang lain, kasian."

Mendengar jawaban gue, Bu Guru langsung berjalan kedepan. Menghampiri si tour gate, mas Arya, lalu menanyakan waktu makan. Bu Guru kembali dengan mengoceh karena kasian anak muridnya kelaparan.

Mas Arya, sebagai seorang tour gate sebenarnya telah menjalankan tugas dengan semestinya. Namun keadaan yang tidak sesuai perkiraan tidak bisa ia atasi. Akibatnya, ketika kami pusing, ia juga ikut pusing. Petugas travel yang mengantarkan kami berjumlah tiga orang. Satu orang supir, satu orang tour gate, dan satu orang yang bertugas membuka bagasi bus dan mengeluarkan koper. Dari ketiga orang ini, yang pekerjaannya paling berat menurut gue adalah sopir. Dari semalam ia belum tidur sama sekali.

Perjalanan masih berlanjut, kami menunggu kapan bus ini akan berhenti. Kami beberapa kali melihat dan memperkirakan dimana bus ini akan menyinggahi rumah makan, dan ternyata tidak. Si tour gate bisa saja menurunkan kami makan di rumah makan besar, hanya ia men-searching terlebih dahulu rumah makan mana yang menyajikan makanan prasmanan untuk kelompok.

Ditengah perut sudah berbunyi, akhirnya bus ini berhenti disuatu rumah makan. Kami turun dengan ekspresi bahagia. Kami mengambil tempat duduk masing-masing. Ketika si tour gate mulai berbicara dengan empunya rumah makan, kami masih menunggu. Tour gate lalu menghampiri kami, dan mempersilahkan kami mengambil makanan.

Gue datang paling awal. Mengambil nasi yang lumayan banyak, ditambah beberapa jenis sayur yang gue anggap asing namun terlihat enak. Belum mengambil lauk, si empunya warung memberitahukan kepada kami bahwa kami boleh mengambil semua jenis sayur namun hanya boleh mengambil satu lauk saja. Jadi, misalnya kami sudah mengambil ayam, yah itu saja. Telur, yah itu saja. Pada saat mendengar itu, telur sudah berada dipiring gue. Dan setelah mendengar itu, gue menaruh kembali telur, dan mengambil ayam.

Gue duduk sambil menaruh piring, disamping gue ada beberapa anak kelas 2. Gue lihat mereka rata-rata mengambil ayam, lalu salah satu dari mereka mengeluarkan telur yang mereka selipkan dibawah nasi.

Setelah makan dan habis duluan, gue merasa ada yang ganjal dengan perut. Gue buru-buru menanyakan toilet kepada salah satu pelayan. Dengan gerakan super cepat, gue lekas menuntaskan panggilan alam. Susahnya, toilet sangat dekat dengan orang berlalu-lalang, jadi untuk mengeluarkan dengan sepenuh jiwa tidak dapat gue lakukan. Gue tahan, sampai sekiranya ia keluar tanpa mengeluarkan nada. Ketika sudah merasa lega, gue beberes sebelum kembali bergabung bersama yang lain.

Perut sudah lega ketika bus telah berjalan. Pemandangan pedesaan yang hampir saja menyentuh perkotaan sudah mulai terlihat. Namun ketika bus telah melewati daerah perkotaan, ternyata belum Jogjakarta. Gue kembali memasang radio ditelinga. Kepala gue miringkan untuk melihat colokan. Karena jangkauan belum terlihat, gue berdiri dan melihat ada satu colokan kosong. Gue balik kearah Fadil, lalu meminjam charge, karena charge gue hilang entah kemana. Gue buru-buru colok dan kembali duduk menikmati lagu pada radio.

Tour gate berjalan ke belakang. Gue tahu pasti ada informasi yang mau diberitahu dengan Bu Guru. Gue buka earphone dan mendengar, laporan bahwa sopir minta istirahat 30 menit. Gue sendiri ingin cepat-cepat sampai, namun lebih prihatin dengan sopir yang membawa kami. Ia sudah mengemudi dari malam dan belum tidur sama sekali. Guru gue mengiyakan, daripada supir mengemudi dengan keadaan tidak baik, mending kita istirahat dulu. Pun gue tahu saat itu bahwa kunjungan ke UNY dibatalkan. Gue ngga terlalu kecewa ketika kunjungan ke UNY dibatalkan, karena gue sudah cukup kecewa ketika tahu yang dikunjungi bukan UGM. Beberapa teman sempat bilang bahwa tidak apa-apa kunjungan ke universitas batal, asal jangan kunjungan wisatanya. Gue sendiri ngga mau dua-duanya batal. Gue senang jalan-jalan, namun gue senang juga liat-liat universitas dan segala hal pastinya akan gue lalui.

Disebuah tempat belanja dan makan, bus menepi. Beberapa dari kami memutuskan untuk turun, termasuk gue. Kami ngobrol disebuah meja. Matahari mulai naik, gue melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Gue kembali masuk ke bus. Didalam bus, gue berusaha untuk tidur namun mata tetap melek. Gue tarik tuas kursi agar bisa enak saat menyandar, namun mata masih menolak tidur. Hasilnya, bus kembali berjalan dan gue masih dalam keadaan tidak tidur sama sekali.

Pukul 12, kami sudah berada di Jogjakarta. Kedua Bu Guru yang mengantar kami ini adalah orang asli Jogjakarta, seingat gue. Mereka bercerita kepada kami tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi. Mereka juga berbagi sedikit wejangan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ia memberi tahu, jika dikeramaian, khususnya Malioboro, agar tidak lalai memegang barang berharga.

Tujuan gue ke Jogja terkabul sudah, diperjalanan gue sudah merasakan atmosfer yang enak dan pastinya seru. Bu Guru menganjurkan kami menepi ke rumahnya untuk mandi. Kami menyetujui mengingat bau kami semua sudah tidak bisa ditoleransi.

Sampai dirumah Bu Guru, semua turun untuk mengambil koper masing-masing. Seperti biasa, Bapak yang bekerja sebagai pembuka bagasi bus dan pengangkat koper baru kembali bekerja. Di bus, semua sudah turun mengambil koper masing-masing, gue masih bingung dengan apa saja yang gue mau bawa. Gue lalu berpikir untuk hanya membawa tas ransel dan koper. Gue turun, semua orang sudah pergi. Gue mengangkat koper kedalam bus dan mengambil baju dan celana ganti. Ketika yang lain membawa koper, gue hanya membawa tas berisi baju ganti.

Gue bertanya kepada tour gate, rombongan lewat kearah mana. Tour gate menunjukkan arah yang tidak terlalu jelas arahnya. Gue terpaksa mengikuti naluri. Gue berjalan memasuki sebuah lorong yang sangat asing untuk gue. Ada dua rumah di sebelah kiri dan kanan, gue liat pintunya tertutup, besar kemungkinan mereka tidak disitu. Gue berjalan masuk, melihat sebuah rumah yang pintunya terbuka. Gue maju perlahan. Disebuah tempat asing, melihat sebuah rumah seperti ini adalah hal yang mencurigakan. Jadi, besar kemungkinan gue akan digebukin warga setempat karena dikira berniat maling.

Sebelum itu terjadi, gue melihat terlebih dahulu. Di halaman, terlihat banyak sepatu dan sendal, gue cukup yakin untuk melangkah maju. Gue buka sendal, lalu melangkah menuju pintu masuk. Gue kaget melihat seorang kakek dan nenek. Gue berpikir, mati gue salah rumah. Dari arah dalam, terdengar suara teman-teman gue. Bu Guru muncul dari arah kamar. Fyuh..

Gue masuk dan mengucapkan salam. Gue duduk sambil menaruh tas dibawah, mengutak-atik baju dan handuk. Beberapa yang lain sudah mengantri mandi, gue masih duduk mengeluarkan baju. Setelah ingin masuk, gue disuruh pindah kekamar mandi belakang karena disitu bagian cewek.

Di kamar mandi belakang, sudah ada dua orang menunggu. Setelah satu orang masuk, tinggal satu orang didepan gue dan yang lain sudah berkumpul untuk antri. Karena tidak mau diserobot, gue menunggu tepat didepan kamar mandi. Yang kedua kemudian masuk, gue masih berdiri menunggu. Ketika yang lain antri, gue duduk. Ketika yang lain duduk, gue antri. Dalam urusan mandi memandi, gue orang yang tidak bisa ditebak kecepatannya. Kadang kalau gue pewe dengan air, gue bisa berjam-jam didalam kamar mandi. Kadang kalau gue males dengan air, sehari gue bisa ngga mandi. Namun hari ini, badan gue butuh banget kena air. Gue merasakan hawa tidak enak yang gue bawa dari kemarin.

Setelah yang kedua keluar, gue buru-buru masuk. Gue buka baju dan celana, gue lihat dan berpikir untuk membuka celana dalam. Karena tidak mau repot membawa pakaian basah, gue memutuskan mandi dengan telanjang bulat. Tanpa selehai benangpun dari tubuh. Gue raih gayung didalam bak dan membasahi seluruh badan. Air melunturkan hawa-hawa tidak menyenangkan itu. Gue merasa terlahir kembali. Air yang sangat dingin membuat sensasi mandi disiang bolong seperti ini adalah sebuah kemewahan. Gue ambil shampo rasa menthol, gue lumuri diseluruh rambut dan menggosok dengan sensasi dingin dikepala. Baru kali itu, gue sangat setuju dengan iklan shampo yang bahagia pas mandi.

Sabun yang ada gue seret ke seluruh permukaan kulit. Gue ambil sikat gigi dan odol, dan mulai menggosok gigi. Setelah tuntas, gue menyiram kembali. Sensasi segar kembali terasa, dari ujung kepala hingga ke pangkal kaki. Handuk gue raih, kemudian mengeringkan rambut serta seluruh badan. Gue ambil celana dalam, balik sisinya dan gue pakai lagi. Gue memakai baju dan celana, lalu keluar. Salah satu dari mereka saling lihat-lihatan, saling bertanya siapakah yang ingin maju. Ketika mereka sibuk saling menyuruh, Fian masuk tanpa perdebatan.

Setelah mandi, gue kembali ke bus. Namun gue cuma membawa kunci koper. Gue lari dengan cepat agar tidak ketahuan. Gue masuk kedalam bus, tidak ada orang didalam. Gue buka koper, dan mencari celana dalam gue yang lain. Gue celingak-celinguk melihat keadaan diluar, lalu mengganti dengan sigap celana dalam.

Masih dalam posisi mengganti celana dalam, gue melihat Sanyo dari arah kejauhan. Gue buru-buru menyambar celana, memutar dibagian atas kepala dengan gerakan mirip penjual martabak telur, gue memakai celana sebelum Sanyo membuka pintu bus.

Seandainya Sanyo adalah Fahri, mungkin dalam keadaan telanjang dada gue masih rela untuk mengatakan,"Nikahin Aku, Fahri.." Namun Sanyo adalah Sanyo, dan dalam pikiran gue saat itu adalah menendang kepalanya keluar karena hampir memergoki gue dengan hanya bercelana dalam.

Gue memilih baju didalam koper, lalu berpikir untuk kembali kedalam rumah. Gerimis mulai menyentuh kulit tangan, lalu muka dan rambut. Gue berpikir dalam hati, ini hanya gerimis. Gue berlari masuk kedalam lorong, makin masuk hujan semakin deras. Bodohnya lagi, gue lupa letak rumah Bu Guru. Gue celingak-celinguk sembari hujan mengguyur, gue berkata lirih,"Gue sudah mandi."

Pada saat itu, gue ingin neduh disalah satu rumah warga, namun gue takut dikira orang jahat. Akhirnya gue memilih mencari rumah yang sebenarnya dibawah guyuran hujan. Dari arah kejauhan, gue melihat Fian telah berdiri dengan pakaian yang sudah ia ganti. Gue buru-buru masuk, kaki gue hampir terpeleset karena lumut disekitar pekarangan. Gue meneduh, lalu memeriksa baju yang kembali basah.

Saat hendak masuk mengambil tas, orang-orang sudah bersiap. Gue memasukkan segala perlengkapan, sambil mengecek apakah ada barang yang gue lupa.

Perjalanan pertama di Jogja, ke Pasar Beringharjo. Sebelum itu, kami ditepikan untuk makan disebuah resto. Tidak seperti biasa, kali ini kami bebas mengambil segala macam lauk pauk. Sebuah kemewahan yang haqiqi. Gue melihat ada telur, ayam, dan ikan. Sembari mengantri, gue mengambil beberapa footage untuk video. Gue ngga tahu juga, video ini akan jadi seperti apa. Yang jelas, gue ingin seluruh perjalanan terekam, setidaknya disebuah memori kamera.


Gue mengambil tempat kosong bersama Fadil, Suci, Lala, dan lupa satunya siapa. Samping gue beberapa orang, seperti Sanyo dan Fian. Sebelum makan, gue menungu mereka makan terlebih dahulu untuk mengambil footage saat mereka makan. Setelah itu, gue mengambil foto dan menaruh di IG Story, biar kayak kidz jaman now.

Entah ini hanya karena faktor lapar, tapi makanan pertama di Jogja ini bisa dibilang sebagai kesan pertama yang baik dilidah gue. Bumbu khas-nya gue banget lah. Rasanya gue pengen nambah lauk, tapi nunggu ada yang mulai duluan. Gue perhatiin, dan makan gue lambat-lambatin. Namun sampai makanan gue habis, tidak ada satupun yang berdiri menambah lauk.

Makanan habis, kami menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan menuju Pasar Beringharjo. Dalam perjalanan, gue sangat excited, apalagi setelah melihat pemandangan Jogja dari kaca jendela. Atmosfer Jogja sangat menyenangkan. Apalagi saat bus berhenti dan kami mulai turun. Karena ini sesi belanja, gue mengambil dompet dari dalam tas. Kami sampai sudah sangat sore, pukul 5 kiranya. Guru-guru gue ngomel didalam perjalanan karena supir bus selalu mengambil jalan yang tidak pintas, apalagi dia masih sangat hapal jalan kampung halamannya. Gue cuma bisa senyam-senyum saat guru gue ngajak ngobrol sambil ngomel-ngomel.

Kami turun dan berjalan menuju Pasar Beringharjo. Seperti dugaan, atmosfer Jogja seketika membawa gue pada satu titik ketenangan. Orang-orang disini ramai berlalu-lalang, menggunakan logat yang kental. Sebagai orang Sulawesi, gue mencoba menggunakan logat Jawa, namun terdengar aneh.

Seperti biasa, kami berjalan terpisah. Awalnya, gue berjalan mengikuti Sahir dan yang lain. Hingga pada saat sampai diwilayah dalam, layaknya pasar, kami masuk dengan berdesak-desakan. Suasananya sangat kacau, apalagi ditambah dengan hujan dan tanah yang mulai menjadi becek. Dari pintu masuk sampai kedalam, yang tersisa tinggal gue dan Fadil. Dari wejangan Guru sebelum kami masuk adalah:
1. Berkumpul disini (maksudnya tempat yang sudah ia beritahu),
2. Jaga barang bawaan karena disini rawan,
3. Jangan sampai hilang.

Gue mulai parno didalam, sebelum kami bertemu dengan Fian. Kamipun berjalan bersama, mencari apa yang akan kami bawa pulang. Awalnya, gue membeli beberapa lembar baju. Ditengah-tengah mencari baju, kami melihat Suci, Lala, dan Frades. Gue memutuskan untuk berjalan bersama mereka karena tidak tahu jalan sama sekali. Gue SMS ke Mama, menanyakan apakah ia mau daster panjang atau pendek. Sebuah telepon dari Mama masuk, gue angkat dan dia memberi tahu bahwa gue mencarikan terlebih dahulu teman-teman terdekat gue. Dan ia mengakhiri dengan pesanan daster pendek kalau ada.

Diperjalanan mencari daster, gue terpisah kembali dari Suci dan yang lain. Kembali bersama Fadil dan Fian. Awalnya, gue melihat sebuah tempat yang menjual beragam daster. Gue masuk tanpa memberi kode, mereka juga ikutan masuk. Gue liat Fian sudah mencari daster, yang gue yakin itu untuk Mamanya. Dia nanya ke gue, apakah ukuran itu cocok untuk Mamanya. Kebetulan Mamanya adalah Guru Bahasa Indonesia, dan gue lumayan akrab dengan guru itu. Gue jawab seadanya, se-sok tahu gue.

Daster pendek ternyata susah untuk dicari, gue selalu menemukan daster panjang. Fian sudah membungkus dasternya, Fadil juga mencoba menelpon Ibunya. Disela-sela gue mencari daster, Fian sudah hilang dari belakang gue. Yang ada tinggal gue, Fadil dan hujan yang semakin deras. Gue masih berusaha untuk mencari daster pendek. Sampai akhirnya, tempat kunjungan pertama gue ternyata menyediakan daster pendek. Disitu juga, gue membeli baju untuk adek gue, bersama Sahir diawal masuk. Entah kenapa, kami seperti dalam film Maze Runner. Gue selalu bertemu teman-teman, namun jarang bersama dalam jangka waktu yang lama. Yang tetap bersama gue sampai sekarang hanyalah Fadil.

Sanyo sebenarnya ingin ikut bersama kami, namun di Jogja, ia menemui keluarganya yang juga sedang di Jogja. Ia sempat mengajak gue, namun gue tidak mau ada dalam kegaringan keluarga Sanyo.

Di dalam Pasar Beringharjo, gue bersama Fadil mencari jalan keluar. Menyusuri jalan seperti Dora The Explorer, bedanya Dora disukai anak-anak, gue dijauhi anak-anak. Jika kami salah mengambil jalan, kami akan kembali dan mengecek jalan yang lain. Gue sudah seperti Dora yang memandu jalannya ketersesatan kami, dan Fadil menjadi Boots.

Seperti sebelumnya, kami kembali bertemu Suci dan Lala. Mereka juga hendak untuk pulang, jadi kami mengikuti mereka. Dibanding kami, insting perempuan dalam belanja sangat baik dan terlatih. Sangat terlihat jelas, ketika kami sudah capek berbelanja, diperjalanan menuju bus mereka selalu mencuri pandang dibeberapa tempat yang mereka pikir menarik.

Gue dan Fadil cuma ngekor dibelakang mereka. Beberapa kali juga terhasut dengan mereka untuk belanja. Dan gue salut sama cara cewek menawar suatu barang. Kalo gue, biasanya akan menanyakan harga pertama barang. Lalu, setelah itu akan mencoba menurunkan harga barang sewajarnya gue ngga ditampol. Kalo si penjual bilang ngga bisa, lalu menaikkan harga barang, berarti barang itu masih bisa turun. Teori itu gue pelajari dari observasi teman cewek. Ditahap ini, gue akan memasang muka kecewa, dan mencoba untuk tidak tertarik lagi. Jika beruntung, si penjual akan bilang,"Oke, sini, ngga apa-apa." Lalu dia membungkuskan barangmu.

Jika tidak beruntung, si penjual akan membiarkanmu pergi berlalu, dan endingnya kamu akan kembali dan bilang,"Oke deh, kalo ngga bisa kurang." Lalu dia membungkuskan barangmu.

Fadil adalah orang yang tidak bisa menawar. Gue selalu sebel kalau belanja bareng dia. Berapapun harga yang penjual kasih, dia akan terima atau langsung tolak. Kalau kalian pikir dia banyak uang, salah. Dia memang ngga tau cara nawar aja, kayak gue waktu pertama kali belanja. Kagok.

Jadi, gue berusaha membantu dia untuk latihan menawar. Seluruh teori yang gue pelajari dan observasi, gue turunkan kepada dia. Mulai dari cara menawar yang wajar anti dimaki-maki, sampai memasang raut muka kecewa. Awalnya dia cuma angguk-angguk paham, pas nanya harga dan si penjual bilang harga, ia langsung mengiyakan. Pas gue tanya, dia bilang harganya sudah murah, kasian bapaknya. Sungguh, Fadil yang budiman.

Itu kalau cowok. Beda dengan cewek, apalagi Suci dan Lala. Harga yang tadinya 100rb, bisa turun jadi 30-50rb berkat keajaiban lidah mereka. Cara penawaran yang brutal didukung oleh jam terbang yang lumayan banyak, tawar menawar sudah menjadi makanan mereka. Kalau gue juri, disetiap tawaran mereka yang berhasil bikin si penjual nangis, gue akan standing applause.

Dihujan malam, kami sempat tersesat. Untungnya kami hidup diera yang serba canggih. Sebuah grup WA membawa kami pada bus yang terparkir. Sampai di bus, gue sudah basah kuyup. Hujannya cuman gerimis, tapi karena terlalu lama, jadi basah semua.


Perjalanan berikut menuju hotel. Guru memberitahu kami untuk membiarkan kami keluar di Malioboro sampai jam 12 malam. Kami cukup senang, mengingat banyak waktu kami yang terbuang. Pertanyaannya, apakah badan gue siap untuk itu?

Setelah sampai di hotel, hujan masih turun, kami check in dan mengambil kamar masing-masing. Gue lagi-lagi bersama Fadil dan Sanyo. Kasur kali ini ada tiga, namun kasur utama cuma dua. Sanyo mendapatkan kasur ketiga karena terlambat masuk. Setelah dikamar hotel, gue membereskan bawaan, lalu mandi.

Lepek.
Dijadwal, malam ini ada service makan malam. Guru yang membimbing tinggal satu, Bu Ester, dan Bu Yeni nginap malam ini dirumah orang tuanya, tempat kami tadi mandi. Dia hanya menitip kami kepada tour gate, jadi malam ini kita akan berburu di kota Jogja.

OOTD malam ini boo..
Malam ini kami tidak menaiki bus, entah karena Guru pembimbing tidak ikut atau karena hal yang lain. Jadi, malam ini kita menaiki bentor. Satu motor, tiga orang. Gue sekali lagi sama Fadil, dan Fian. Untuk kalian yang bertanya kenapa gue dari awal sama Fadil terus, jangan bilang gue homo.


Gue sama Fadil itu sudah teman dari TK sampai SMA, dan kami bareng-bareng mulu. Entah karena kebetulan, karena teman-teman gue kebanyakan berpisah di SMP, tapi bertemu di SMA. Atau sebaliknya. Gue tahu, dalam hidup ini teori pertemuan dan perpisahan itu ada, tapi untuk gue sama Fadil belum terjadi. Mungkin belum saatnya.

Bentor adalah kendaraan yang maksimal hanya muat dua orang, dan kami naik bertiga. Kombinasi yang sangat fatal. Untungnya gue masuk duluan, jadi gue dapat tempat duduk. Fian yang naik terakhir, rela kami pangku. Mungkin kalian berpikir, Fian enak mendapatkan posisi dipangku. Tapi tidak sepenuhnya, karena bentor berjalan dengan sangat random. Salah sedikit, Fian bisa terlempar kedepan.

Gerimis Jogja malam membuat bentor harus ditutupi dengan gorden plastik. Sementara terjepit, gue intip dari sela-sela gorden. Bentor saling balap. Gue tidak mau mengatakan apa-apa, biasanya gue kalo sama teman naik angkot, supirnya dikompor-komporin biar nge-gas. Karena gue orangnya penakut, jadi gue memilih diam. Seperti kata pepatah.

Pemberhentian pertama malam ini, disebuah warung makan. Dari tempatnya sudah menggambarkan unsur Jawa yang masih kental. Yang bikin ngeri adalah lagunya yang kata teman gue lagu sinden, tapi lebih mirip lagu Lingsir Wengi.

Yang kami makan adalah itu, kalo gue ngga salah itu adalah gudeg. Sumpah, perpaduan rasanya gokil abis. Teman gue Sanyo, yang Jawa, nyaranin untuk makan semacam kulit daging gitu, gue kiranya sambal, perlu perdebatan sampai gue tergila-gila dengan gudeg ini. Meja yang gue diduduki dengan lesehan, gue sengaja pilih ini biar beda.

Setelah makan, bentor kembali beroperasi. Tujuan kedua kami adalah tempat oleh-oleh makanan. Jadi, kami memasuki tempat yang menjual oleh-oleh berupa cemilan khas Jogja, salah satunya bakpia. Awalnya, gue ngga mau beli karena males bawa-bawa banyak barang. Gue lihat yang lain juga mager untuk belanja, kecuali yang CEWEK.

Gue hanya liat-liat, beberapa ada yang gue senang namun sekali lagi gue males repot, apalagi kondisi tidak mendukung. Sampai akhirnya, seorang teman, tepatnya adik kelas, bersedia untuk pulang duluan karena tidak enak badan. Jadi, gue membeli bakpia dan beberapa cemilan yang lain. Salah satu cemilan yang mau gue ambil dan tanyakan,"Itu di Kendari juga ada."

Gue ngga ngerti dengan konsep belanja teman-teman cewek gue. Untuk yang ini, gue lumayan ngerti setelah mencerna perkataannya baik-baik. Mungkin, dia bermaksud untuk membeli barang yang ngga ada di Kendari karena kalau mau beli barang yang sama mending di Kendari. Oke, satu tips lagi malam ini.

Dari belanja kue dan cemilan, kami berlabuh ke tempat penjualan baju. Iya, tadi sore udah, tapi ngga tau kenapa bentor berhenti disebuah toko baju. Dan anehnya ngga ada yang protes. Jadilah kami turun dan melihat-lihat. Niat pertama pas turun: liat-liat aja. Pas pulang: aduh, ini taruh mana lagi.

Dari tempat penjualan baju sebenarnya tugas bentor telah selesai, tapi kita minta diantar ke Maliobro untuk jalan-jalan. Kami turun bersama bentor yang lain didepan, anehnya kami diminta bayar tambahan dan mereka tidak. Gue sudah nanya, pembayaran apa ini, namun supir bentor hanya berkata 'biaya tambahan'. Ngga mau nunggu, kami bayar aja sisanya.


Gerimis masih mengguyur Jogja, namun keramaian tetap menghiasi sepanjang jalan Malioboro. Karena ngga afdol, katanya, kalau ke Jogja ngga ke Malioboro. Jadi, biar lebih afdol, kami abadikan lewat foto. Tempatnya sangat rame meski dari jam tangan gue sudah menunjukkan pukul 12 malam. Kami lama foto aja ditegur sama orang belakang. Mau gaya kekinian, malu. Jadilah, gaya seadanya.

Ekspresi mati gaya diliatiin orang mau foto be like.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat ketika kami sedang asik mengabadikan gambar dan momen. Ingat pesan Bu Guru, kami berasa Cinderella, harus di hotel tidak lewat jam 12. Namun kami harus menerima panggilan pulang dari Bu Guru karena melanggar waktu. Kami berjalan ke hotel karena jaraknya lumayan dekat. Melewati jalanan Jogja, gang-gang, suasana basah dan lembab. Kami berjalan dengan sempoyongan, perpaduan antara capek, ngantuk, dan kaki blas.

Sampai di hotel, si tour gate sudah menunggu. Mengabsen kami, lalu pergi meninggalkan hotel. Kami masuk ke kamar masing-masing. Sebelum itu, sempat terjadi atur-atur barang, pengambilan kue dan oleh-oleh. Malam itu badan sudah capek ngga jelas namun gue masih harus nyusun pakaian. Untuk urusan nyusun pakaian gue banyak belajar dari Fadil. Kami membereskan baju di koper dan ransel, lalu barang bawaan, dan baju untuk besok ke Candi Borobodur dan Museum Ulen Sentalu.

Gue terbangun ketika kepala gue sudah hampir jatuh dari kasur. Gue perbaiki posisi bantal, lalu melihat Fadil sudah terbangun dan memainkan hape. Gue ngga perlu tanya ini jam berapa setelah melihat semua dari jendela. Gue lihat Sanyo masih tertidur, dengan sigap gue ambil sikat gigi lalu mandi pertama. Enaknya mandi pertama itu, gue ngga perlu lagi buru-buru. Gue tinggal mandi apa adanya, boker jika ada, lalu keluar dengan jumawa.

Fadil menengok gue yang sudah mandi, dia mengambil handuk dan sikat gigi, lalu memberi kode gue untuk membangunkan Sanyo. Sebelum membangunkan Sanyo, gue terlebih dulu memakai pakaian, jaga-jaga jika terjadi sesuatu.

Belum sempat membangunkan Sanyo, ia sudah sadar duluan. Ia agak kesal karena tidak dibangunkan, alasan gue adalah gue dan fadil sudah membangunkan, tapi susah.

Ia memperbaiki posisi, mengumpulkan nyawa, lalu segera mandi ketika Fadil keluar. Ketika baru saja mengaktifkan data seluler, grup WA sudah berbunyi. Ternyata, orang sudah menunggu dibawah sekaligus sarapan. Yang belum turun lagi-lagi tinggal gue, Fadil, dan Sanyo. Setelah turun, semua mata tertuju kepada kami bertiga

Nasi telah diperut, koper telah diangkat, dan bus sudah bekerja dengan semestinya, perjalanan hari ini dimulai.

Dalam hidup gue, melihat Candi Borobudur adalah hal yang istimewa. Mengingat cerita-cerita legenda yang sering gue tonton pas kecil. Setelah sampai, gue lumayan kaget karena orang yang datang rame buanget. Gue mau bilang,"tidak seperti biasanya." tapi gue juga baru aja datang ke Borobudur.

Sebelum naik, disebuah tempat yang dihiasi kupu-kupu raksasa, kami foto bareng. Cukup beberapa kali foto, lalu kami melanjutkan perjalanan. Didalam, gue menemukan beberapa keanehan, salah satunya ada beberapa turis yang sedang berjemur lalu badannya dilumuri semacam gel. Gue kira ini hanya terjadi dipantai, beritahu kalo gue salah. Gue sempat nanya teman, dan ternyata penglihatan gue ngga rusak.


Kami naik sambil berdesak-desakan dengan yang lain, dengan orang asing yang juga naik. Kamera yang gue tenteng untuk merekam tidak berguna. Kami lagi-lagi berpisah, namun kali ini dengan Guru. Kami mencari sebuah tempat, lalu kami klaim untuk jadi objek dan backround foto sekaligus tempat istirahat. Yang gue remehkan saat ingin naik adalah terik matahari. Untungnya, ada firasat buruk, jadi sebelum masuk gue membeli topi bermotif batik. Kurang mempan.


Kepala sudah puyeng, gue duduk lesehan bersama yang lain. Orang lewat-lewat didepan kami, bodo amat. Gue menyeting kamera Suci, lalu mengambil foto dengan posisi duduk. Sampai akhirnya gue dan yang lain memutuskan untuk menyerah dan turun. Diperjalanan turun, gue baru ingat, video yang gue rekam masih sedikit, jadi, gue ambil video bersama Fadil.

Karena sibuk mengambil video, lagi-lagi gue bersama Fadil ditinggal pergi yang lain. Kami berjalan melewati orang-orang sambil mencari salah satu dari mereka. Belum lama mencari, teduhnya dibawah pohon memaksa gue untuk duduk. Ngga mencari, Suci dan Lala tiba-tiba muncul. Dengan ekspresi tak tau arah, mereka menanyai kami kemana perginya yang lain. Tanpa sadar, kami saling cari mencari, lebih rumit dari kisah Maze Runner.


Mereka kemudian pergi, gue menahan Fadil karena kaki gue sudah ngga kuat, ditambah celana yang sempitnya luar biasa. Gue melihat jam, sudah pukul 11;30 siang. Gue mengajak Fadil untuk jalan kembali, tujuan kami jika tidak bertemu mereka adalah sesegera mungkin bertemu bus. Yang gue lihat, dibeberapa tempat wisata yang sudah gue kunjungi, selalu menaroh tempat keluar dengan jalur panjang tempat jualan. Yah, target marketing yang baik sebenaranya, namun beberapa penjual yang gue temui lumayan ganas-ganas dalam mempromosikan barangnya. Penjual seharusnya, jika sudah diberi kode 'ngga mau' yah tinggal mencari pembeli yang lain. Dibeberapa tempat, contohnya seperti yang di Candi Borobudur ini penjualnya sangat maksa. Mereka awalnya menawarkan barangnya secara baik-baik, lalu menurunkan harganya, lalu mengikuti, dan tidak akan berhenti sampai pembeli mencari cara untuk kabur.

Gue sendiri memanfaatkan Fadil untuk menghindari penjual seperti ini. Disaat gue ditawarkan produk mereka, gue melihat Fadil dibelakang berjalan dengan polosnya, lalu lampu diatas kepala seakan-akan menyala secara tiba-tiba, gue menunjuk Fadil, lalu bertanya,"Dil, katanya tadi cari beginian.." Lalu gue lari.



Sementara lari, gue menengok kebelakang Fadil sedang ditarik-tarik sama Mas-nya, Fadil juga berusaha melarikan diri. Setelah ia menyusul gue, ia memaki gue. Gue cuma nyegir.

Hal paling bodoh ditempat umum adalah ketika tersesat. Orang yang ngga tau arah itu sangat kentara dari gerak-geriknya. Itulah yang gue lakukan bersama Fadil. Dengan bermodal hape yang belum lowbat, gue ganti-gantian ngecek grup. Setelah mengatakan 'help' di grup, beberapa anggota grup merespon, menanyakan posisi kami.

"Candi borobudur." tulis gue.

"Kok kesel yah." kata salah satu dari mereka.

Kami yang tidak tahu arah melihat sekeliling, lalu mencari sebuah petunjuk jalan yang bisa kami sebut. Tempat kami berada, banyak terdapat bus, gue bilang 'disini banyak bus', sambil mencari petunjuk lain kami berjalan kecil

Lalu kami melihat ada pintu keluar besar, kami menyebut. Mereka mengarahkan kami untuk keluar, sesuai perintah mereka kami keluar. Lalu berjalan mengikuti jalan. Semakin berjalan, gue semakin curiga karena sudah tidak ada tanda-tanda tempar parkir. Gue memberi saran untuk kembali, lalu diiyakan dengan bimbang oleh Fadil. Kembali ketempat semula, lalu memutari tempat ini gue mencari apakah ada tempat keluar lain.

Sekitar hampir setengah jam mencari bus, kami akhirnya menyerah dan berhenti. Kami meminta salah satu dari mereka untuk turun mengambil kami. Kami duduk didepan gerbang pintu keluar, lalu tanpa sadar setelah memantau grup, si tour gate datang bersama Sahir. Gue heran, lalu dengan penasaran gue mengikuti mereka, melihat dimanakah letak bus yang daritadi menyasarkan kami. Pada saat keluar jalan, ada sebuah lorong yang daritadi gue curigai namun tidak kami masuki, dan disitulah tempat bus terparkir. Sungguh begonya gue, dan Fadil.

Naik dibus, kami disambut oleh ekspresi-ekspresi random. Ada yang tertawa kecil, ada yang ngakak, juga ada yang kesel. Gue sendiri langsung kebelakang tanpa merespon, bus lalu berjalan, keluar dari Candi Borobudur.

Sebelum kami ke pemberhentian selanjutnya, kami terlebih dulu makan. Makan selesai, bus bergerak menuju Museum Ulen Sentalu. Perjalanan ke Museum Ulen bisa dikatakan lumayan lama, gue bisa istirahat di bus sambil mengecas hape. Diperjalanan, hujan kembali turun, dari kaca terbentuk bulir-bulir air yang menutupi sebagian pemandangan dari luar sana.

Bus berhenti secara tiba-tiba, dan ternyata itu adalah tempat yang kita tuju. Orang-orang bergegas turun, si tour gate yang sudah terlebih dulu turun, mendapatkan payung entah darimana. Ia membawa kami satu persatu. Setibanya giliran gue dan Fadil, si tour gate memberi tahu agar kami jalan sekali dua. Hasilnya, sebagian dari gue basah.

Kami masuk kedalam, melihat beberapa lukisan yang ada sementara tiket sedang dipesan. Gambar yang dipajang kebanyakan gambar-gambar karakter Jawa, seperti Cepot. Tidak lama, tiketpun dibagikan dan datanglah seorang tour gate Museum yang akan menuntun kami berkeliling.  Ada beberapa ruang yang harus kami masuki, dan setiap kami keluar untuk masuk diruang yang lain, kami harus siap diguyur hujan.

Ditiap ruangan, kami dijelaskan sejarah benda peninggalan. Gue sudah hampir lupa, namun yang gue ingat adalah sejararah seperti Hamengkubowono VIII dan berbagai macam tokoh yang meliputinya. Kami juga dijelaskan tentang makna kain batik dan apa saja acara yang bisa dihadiri oleh motif kain batik. Dari semua yang tunjukkan, gue sangat tertarik dengan kisah Putri Tineke. Dimana ia adalah seorang putri yang hidupnya dipenuhi dengan puisi. Ketika ia bersedih, para kerabatnya memberi ia puisi sebagai pelipur laranya.

Dari penampakannya, Museum Ulen Sentalu dari awal sudah terlihat mistis. Ditekankan juga oleh ucapan si tour gate Museum agar tidak mengambil gambar sembarangan. Jangan mengutak-atik benda sembarangan. Dari awal masuk, kami dikejutkan oleh berkedipnya lampu. Dari situ, gue mulai berjalan dekat Bu Guru.

Sampai diluar, kami ditujukan sebuah dinding miring yang kata si tour gate melambangkan bobroknya jaman sekarang. Gue senang dengan 'tour gate' kami di Museum Ulen ini, ia menceritakan seluk-beluk yang menurut gue asik karena secara personal. Ketika kami melempar pertanyaan, walaupun itu ngaco, ia tanggapi dengan sebuah cerita dan meluruskan.

Di dinding miring itu, si tour gate menyarankan kami untuk berfoto. Sebagai tour gate, ia pun menjalankan salah satu job desk-nya dengan mengambil foto kami semua. Setelah selesai, beberapa ruangan yang belum kami kunjungi kami selesaikan lalu kembali ke bus.


Gaya biasa..
Gaya luar biasa..
Namun, gue dan Fadil agak bandel ketika perjalanan menuju ruang berikutnya. Disalah satu patung, gue menyuruh Fadil untuk memoto gue. Awalnya biasa aja, lalu salah satu tour gate melihat gue dan melarang kami. Tour Gate berkata dari kejauhan agar menghapus foto tersebut, Fadil yang ketakutan langsung berlari dan menghapus.

Kami menceritakan ke yang lain, dan ternyata hal mistis sudah terjadi. Salah satu teman gue, hapenya mendadak nge-hang ketika hendak mengambil foto. Gue ngga tau apakah ini hanya hang hape biasa atau bukan. Coba kalian komen yang sudah dan tau sejarah Museum Ulen Sentalu. Sejauh yang gue buka di pencarian google, ada beberapa artikel yang membahas demikian.

Setelah keluar, kami berada dibagian bawah, sedangkan bus berada dibagian atas. Hujan masih turun, medan untuk naik adalah aspal yang gue liat lumayan licin. Awalnya, gue mau menunggu hujan reda, namun cewek maupun cowok sudah berlari. Gue pun buru-buru buka sendal, lalu lari mengejar mereka.

Dengan keadaan basah, gue duduk mengeringkan baju dan badan dibawah dinginnya AC.Perjalanan dari Jogja telah selesai, bus berjalan lambat, keluar perlahan dari Jogja yang beberapa hari ini di guyur hujan. Seperti bayangan gue, Jogja adalah kota yang menarik. Impian gue terbayar sudah, meski impian untuk melihat-lihat UGM ataupun UNY belum tercapai karena satu dan lain hal.
Hampir pukul 6 Maghrib, suasana mulai gelap. Lampu-lampu sudah menyala, bus tetap bergerak, bergerak meninggalkan Jogja dalam perjalanan 30 jam ini. Dari Jogja, bus akan bergerak ke Malang. Malam ini, mari kita habiskan waktu untuk beristirahat.


Untuk yang mau liat visualiasi series Tour Majoja kota Jakarta, klik di sini: https://www.youtube.com/watch?v=l7_zHb6tnaA&t=47s

Comments

  1. Wow, panjaang bener artikelnya ya .. tapi seru juga dibaca tentang pengalaman petualangan di Yogya.

    ReplyDelete
  2. Naik bis 16 jam lumayan pege sih ya Rahul, cuman gue malah pernah 29 jam sampai bengkak bengkak tuh kaki akrena macetnya terlampau brutal saat Libur Lebaran beberapa tahun lalu. Tapi semua terbayar setelah kamu sampai di Jogja dan bisa berpetualang di sana. Jogja emang kece!!

    Cuman artikelnya terlampau panjang nih Rahul. Mungkin lebih enak dibaca kalau dipisah jadi beberapa part di postingan yang berbeda. Jadi amcam cerbung gitu. Jadi orang bacanya nggak capek. Saran aku begituuu..hihi

    ReplyDelete
  3. Sepertinya jogja memang paling tepat untuk dijadikan tempat liburan, ataupun perpisahan. Dulu gue ke jogja buat perpisahan SMP sih 18 jaman naik BIS dari Jakarta, ada acara bis mogok.. sampe situ udah jam 3 pagi aja tau2

    ReplyDelete
  4. waaahhh lama banget ya, udah kucel gitu jadinyaa uppss...tapi kalau study tour itu emang enaknya naik kendaraan darat sih, jadi bisa menikmati perjalanannya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts