TOUR MAJOJA - Malang yang Kalem

Tidak berasa, gue sudah menghabiskan 4 hari berada di dua kota yang berbeda. Dalam perjalanan ini, gue lagi berasa tur konser. Pada pukul 7 malam, bus masih bergerak, sangat lamban terjebak macet. Gue sungguh bingung dengan pikiran gue dulu yang ingin sekali melihat macet. Sepengetahuan gue macet itu ngga setiap hari. Macet disini udah kayak kebiasaan, mungkin sehari aja ngga macet orang-orang pada demo.

Di kota gue, Kendari, sekali lagi gue bilang, itu adalah kota yang macetnya cuman ada jika hari-hari besar. Gue cukup sadar dengan kota gue yang memang belum semaju kota-kota besar. Namun ketika melihat tingkat kemacetan di kota-kota besar, gue kayak mau gila. Awal-awal masih menikmati, namun lama kelamaan jadi ngerasa aneh. Lebih cepat Gary kalo kayak gini.

Setelah terjebak macet sampai pukul 9 malam, kami akhirnya menepi di Solo untuk makan. Dari jadwal yang ada, kami memang ada daftar main ke Solo, walaupun cuma jadi persinggahan. Tempat yang kami singgahi pertama adalah rumah makan khas solo. Gue ngga tahu apa yang ada disini, tapi setelah melihat menu-menu yang disediakan, yang paling hitz disini adalah 'ayam betutu'. Ada beberapa varian rasa, ada yang biasa, ada yang pedas, dan beberapa rasa yang lain. Waktu itu perut gue bisa dibilang lagi kosong-kosongnya, dan dari pengalaman, gue ngga mau lagi makan pedas ketika perut kosong.

Gue pilihlah yang biasa. Pas dateng, gue agak bingung kenapa aromanya kayak mencurigakan. Gue liat teman-teman yang satu pesanan, juga seperti itu. Takut salah, gue tanyain mba-nya, dan ternyata emang ngga salah. Gue kembali duduk, lalu menyiram nasi dengan kuah ayam betutu ini. Satu lahapan, lidah gue sudah merasakan hal yang lain. Firasat gue benar, ini sih pedas, pikir gue.

Gue minum teh sambil batuk-batuk, yang lain melihat gue dengan tertawa kecil. Mereka belum mencoba, harus tahu apa yang gue rasakan. Dan setelah mereka makan, semua saling tatap-tatapan. Ini gue sudah memesan yang biasa, gimana kalau tadi gue sok berani pesan yang pedas. Gue mungkin bisa diare diperjalanan.

Yang gue senang, untungnya pedasnya masih bisa ditolerir lidah gue, dan untungnya lagi emang lagi lapar-laparnya. Ngga enaknya sih yah kalau ada makanan enak ngga bisa nambah, selain karena malu, juga takut boker diperjalanan. Setelah makan, perut mulai sakit, gue ambil teh dan mencoba tenang dengan duduk dibus yang terpakir didepan.

Setelah semua selesai makan, gue kembali memulangkan gelas. Lalu, ada sebuah pembicaraan guru gue dengan beberapa orang, termasuk tour gate. Sampai akhirnya gue tahu, dalam perjalanan ke Malang, tour gate Arya akan diganti. Dengan siapa gue juga belum tahu. Setelah bus hendak jalan, barisan depan chaos. Gue liat, ada orang baru. Awalnya gue ngira itu anggota study tour baru, ternyata itulah pengganti study tour kami yang baru, namanya kak Tika.

Saat Kak Tika memperkenalkan diri semua menyimak dengan antusias, terutama yang cowok-cowok. Pembawaan tour gate yang ini juga lebih ceria dan bisa dibilang bagus karena jika dilihat-lihat umurnya ngga jauh beda, ia mungkin masih kuliah. Jadi, kami bisa ajak becanda, beda dengan mas Arya, yang kalem, pendiam, dan kurang interaktif dalam memandu kami.

Jika bisa gue deskripsikan, kak Tika ini sekilas mirip dengan penyanyi Dangdut, Lesty. Ini hanya informasi biar kalian ada gambaran karena kak Tika akan banyak scene di episode kali ini. Lah..

Malam ini, setelah makan, perjalanan ke Solo masih berlanjut. Sebelum benar-benar ke Malang, kami menyinggahi Transmart. Disana tidak banyak yang kami lakukan. Tempatnya tidak lebih dari sekadar mall pada umumnya. Ada penjual baju, ada eskalator, namun yang membedakan, disini ada beberapa wahana permainan layaknya Dufan.

Untungnya, untuk naik wahana harus membayar, kalau tidak mungkin kami akan menaiki semua wahana. Oh, gue ralat, mungkin gue akan ikut menaiki semua wahana,.. yang aman-aman saja.

Sejauh yang gue perhatikan, Transmart di Solo ini masih terbilang sepi. Gue ngga tau karena ini bukan malam Minggu atau tidak, yang jelas memang sepi. Ngga seperti Lippo Plaza Mall Kendari di kota gue. Yang memang satu-satunya mall terbesar disana, yang kalau gue liat sudah kayak pasar malam. Yang tempatnya dulu masih dibilang langka. Orang ke Lippo dulu adalah suatu kebanggaan. Semakin berkembang, yah biasa-biasa aja. Malam Minggu juga orang pasti akan rame-rame membanjiri Lippo. Tempatnya strategis. Mau nongkrong, bisa. Mau makan, bisa. Mau belanja, bisa. Mau nonton, bisa. Mau nongkrong sambil makan sambil belanja sambil nonton, bi..sa.

Di Transmart Solo ini, gue berenam teman yang lain masuk bersama kak Tika. Pakean gue saat itu bodo amat, celana pendek dan baju kaos, serta sendal jepit yang sudah hampir putus. Awalnya kami berpencar di lantai bawah. Gue liat-liat ngga ada yang begitu menarik. Naiklah kami ke lantai dua, masih belum ada. Lalu dilantai tigalah kami menemukan wahana permainan. Dari dalam hati yang paling dalam, gue ingin cobain satu-satu, apa daya badan gue sudah lemas untuk aktif, jadi cukup jadi alasan gue untuk tidak naik apa-apa.

Yang lain sebenarnya sudah mengantri tiket untuk Rollercoaster. Gue bingung juga, bisa yah didalam mall, sebuah gedung, orang dengan tingkat kreatifitas yang tinggi mempunyai ide membuat wahana Rollercoaster. Worth it ngga-nya gue ngga mau komen, yah tapi sejauh yang gue liat safety-nya mungkin kurang baik. Apalagi ada pembelokan mengarah keluar mall. Karena memang dari tadi gue mau boker, gue ajak Fadil untuk nemenin. Gue boker agak lama sambil baca-baca timeline Twitter. Setelah keluar, Fadil masih menunggu sementara yang lain baru saja turun dari Rollercoaster. Gue lega.

Delete scene Jurassic World
Setelah itu, kami berpencar keliling. Gue tetap sama Fadil sementara yang lain berpisah, ada yang langsung ke bus, ada yang belanja. Gue sama Fadil liat-liat harga baju di lantai bawah. Dan gue bandingin, kok barang disana mahal-mahal goks. Gue ngga nyangka juga akan segitu. Apakah gue yang terlalu norak sampai tidak tahu bahwa itu adalah salah satu merk ternama. Oke, mari kita ambil sisi positifnya.

Seperti biasa, kembali ke bus, kami adalah salah satu dari yang terlambat lagi. Setelah kami masuk, bus berjalan menembus pekat dinginnya malam. Untungnya kami ada didalam, tapi tidak terlalu beruntung karena AC masih saja menyala. Pukul entah berapa, gue sudah terti.. Zzz.. Zzz..

Bangun dipagi hari, bus masih berjalan sekitar beberapa menit sebelum menyandarkan diri disebuah tempat transit. Sederhananya, pagi itu kami sudah di kota Malang. Diluar banyak bus yang juga terparkir, ditambah ramainya orang yang kalau gue liat, kayaknya sedang mengadakan study tour, juga.

Disinilah kami akan mandi, kata bu Yenni. Gue melihat dari kaca jendela, lalu bertanya kembali,"Bu, kayaknya yang mandi disitu cewek semua."

Bu Yenni menengok jendela, dengan tatapan penuh keraguan ia berkata,"Oooh, ituuuu.. yang cowok sudah selesai."

Kami turun, membongkar bagasi bus untuk menurunkan koper. Gue menarik naik koper kedalam bus, lalu memilih baju yang akan gue pake, yaitu seragam putih abu-abu. Gue juga menyiapkan handuk, dan tidak lupa sikat gigi.

Koper gue kunci, lalu mengajak beberapa teman untuk mandi. Awalnya, kami terhitung banyak, namun yang memutuskan untuk mandi adalah gue, Sahir, dan Fian. Disini terdapat hampir sepuluh kamar mandi, seingat gue, tapi yang ngantri untuk mandi juga banyak. Kami tidak mau lama menunggu, karena kami tahu, cewek apapun situasinya, kalau mandi, dandan, segala macam yang berkaitan dengan kecantikan dan kebersihan pasti lama. Beda sama cowok, kami bisa melakukan beberapa cara cepat untuk mandi. Yang sering gue lakukan adalah, teknik 3 in 1, yaitu menggosok gigi, sambil pakai sabun, sambil pakai shampoo. Keuntungan, waktu mandi bisa jadi lebih cepat dari yang seharusnya. Kelemahan, bisa salah make. Misalnya, odol pakai dirambut, atau menggosok gigi dengan shampo.

Kami mandi sekaligus bertiga, dan saat sebelum gue menutup pintu, gue melihat tatapan aneh dari para perempuan, seakan mengatakan: "Hayo, mau ngapain?", atau "Kalian,.. astagfirullah." lalu kami diruqiah satu persatu.

Didalam, kami mandi dan menghadap tembok masing-masing. Percayalah, kami tidak sehomo itu. Hal pertama yang gue cek ketika mandi pagi adalah tingkat kedinginan airnya. Jika airnya hangat, gue bisa langsung siram, kelar. Jika airnya dingin, gue akan mengambil setimba air, lalu membasuh seluruh badan, jika badan gue sudah mampu beradaptasi, barulah badan gue siram. Cara ini sudah gue pake sejak SD.

Gue dan Sahir cukup beberapa menit sudah kelar dan siap untuk keluar. Fian masih melanjutkan mandinya ketika gue dan Sahir keluar. Sesampainya di bus, kami memakai pakaian putih abu-abu. Bus be like a home.

Entah beberapa jam setelah semua selesai, agak lama kiranya. Kalian pasti mengerti, bagaimana menunggu perempuan mandi. Dan itulah yang membuat gue dan Sahir naik ke atas, semacam pusat perbelanjaan Malang, tepatnya kami lagi di Batu. Jadi, di selain Malang, disini itu yang terkenal adalah kota Batu.

Ada satu peristiwa saat gue nemenin Sahir naik ke pusat perbelanjaan. Awalnya gue cuma ngikut, sekalian nunggu yang lain selesai pakaian. Tapi, adek gue nitip jaket, jadilah gue membelikan dia sebuah jaket. Didekat meja kasir, ada tempat apel, tulisannya "Apel khas Batu" Karena kaget, gue bilang ke Sahir,"Sahir, liat, ada apel khas Batu."

Diluar, gue baru tahu kalau Batu itu adalah kota.

Sampai di bus, kami sudah ditunggu. Seorang perempuan berpamitan kepada Bu Yenni, yang kalau gue liat, kayaknya berkaitan dengan pihak travel. Setelah ibu-ibu itu turun, barulah bus berjalan, berangkat menuju universitas Brawijaya, pemberhentian pertama kami di Malang.

Sebelum pergi ke Malang, yang gue tahu dari kota ini cuma tiga. 1) Kota Pendidikan, 2) Universitas Brawijaya, 3) Terletak di Pulau Jawa. Yah, pengetahuan gue memang sedangkal itu.

Namun setelah di Malang, gue jadi banyak tau kota Malang. Salah satu yang gue sudah sebut tadi, yaitu kota Batu. Itu adalah proses belajar secara tidak langsung, walaupun hal seperti itu bisa dipelajari dibuku sekolah manapun. Tapi, menurut gue, melihat langsung menjadi nilai tambah buat gue sendiri.

Di Brawijaya, beberapa orang sudah histeris. Beberapa yang ingin lanjut disini, beberapa ada juga yang histeris, lalu bilang,"UGM.. UGM.." Lalu ditepok jidatnya sama yang orang sebelahnya."Beda univ."

Kemudian ia berseru mantap,"Ngga sabar liat Unpad."

Gue sendiri sangat tertarik dengan kunjungan ke Universitas. Kenapa begitu? Yah, seneng aja, liat anak kuliahan. Membayangkan gue salah satu dari mereka. Di film-film juga setting anak kuliahan itu digambarkan keren. Walaupun gue tahu, kadang layar kaca tidak sesuai dengan kenyataan. Yang sering gue perhatikan, blog orang-orang yang sudah berkuliah akan sepi. Jarang update postingan. Sekalinya update, bilangnya selalu sama,"Maaf, baru sempat bikin pos, tugas lagi numpuk."

Gue sama sekali ngga, atau lebih tepatnya belum bisa membayangkan, seberat apa tugas kuliah itu. Tapi dari pengamatan yang gue lihat, mereka lebih banyak observasi. Yah itu pengamatan sih, bukan pengalaman.

Sampai di Universitas Brawijaya, kami turun. Awalnya kami lumayan kagok, melihat mahasiswa yang bisa dikatakan rajin dan disiplin. Terlihat dari cara berpakaian mereka yang ngga neko-neko dan disetiap berjalan, yang mereka bahas adalah materi pelajaran. Gue tahu dari mana? Sekali lagi, gue mengamati.

Setelah menunggu disalah satu ruang yang tidak terpakai, kami berjalan diiringi Kak Tika yang sedang menelpon. Kami, para cowok, berjalan dibagian depan, seperti menjadi Paspampres. Lalu ia menunjuk sebuah lorong,"Lewat sini deh kayaknya." Gue pun membuka jalan agar mereka mengikuti. Dan pada saat sampai, hanya terdapat sebuah pintu kecil, usang, lebih mirip pintu gudang.

Setelah memberi peringatan salah jalan, Kak Tika kembali bertanya kepada salah satu mahasiswa. Mahasiswa itu langsung menunjuk sebuah gedung didepan kami, bagian lantai dua. Gue lewat samping, dan langsung menaiki tangga agar duluan. Sebelum sampai, kami diharapkan menunggu beberapa saat sebelum akhirnya dipersilahkan untuk masuk kedalam ruangan.

Ruangannya cukup besar, seperti sebuah tribun. Gue jadi ingat film 3 Idiots, dalam suatu adegan, ada sebuah ruangan yang sangat mirip dengan ruangan ini.

Sudah ada beberapa orang yang siap memberi materi. Kami mengambil kursi bagian depan, tidak ada orang sebelumnya. Guru-guru mendapati kursi yang paling depan, kursi sofa, dengan air minum dan kue. Yang kami ngga tahu, adalah akan ada sekolah lain yang juga akan bertamu. Kami menunggu mereka cukup lama, sebelum akhirnya mereka datang, hampir satu sekolah.

Mereka masuk dan memenuhi seisi ruangan. Karena kami dibagian tengah, dan depan, mereka mengisi semua tempat bagian belakang dan sisi samping. Jumlah mereka sangat banyak, gue juga ngga ngerti, padahal tidak ada tawuran disini. Disela-sela mereka masuk, yang gue perhatikan hanya cewek yang masuk.

Suara gemuruh terdengar hebat, bahkan sebelum pembawa acara membuka materi. Kami hanya diam, menyadari jumlah kami yang sedikit. Beberapa cowok ada yang berteriak rese, kami hanya saling mengingatkan agar tidak bawa emosi. Nyali kami mulai ciut, namun sebelum masuk, guru kami sempat berkata,"Ibu mau kalian nanya kalau Ibu ngga sempat."

Pembawa acara membuka materi dengan baik. Awalnya, ia mengabsen sekolah yang hadir. Ada satu sekolah yang belum juga datang, setelah mereka berdiskusi, akhirnya acara lebih baik langsung dimulai. Untuk nama sekolah mereka, gue juga lupa. Gue masih ingat samar-samar ketika salah satu dari mereka membawakan yel-yel. Guru kami balik belakang, memberi kode untuk salah satu dari kami membawakan yel-yel sekolah. Kami juga punya sebenarnya, tapi nyali kami semua sudah terlanjur ciut sebelum sempat berniat maju.

Mendengar suara yel-yel dan sentakan mereka, kami hanya diam, lalu diiringin tepuk tangan. Gue juga mengiringi dengan tepuk tangan, menghargai kekompakan mereka. Gue sangat ingin maju dengan gagahnya, kemudian memimpin yel-yel dengan meriah, namun gue sempat melihat dibagian belakang, banyak orang-orang rese yang pasti akan tidak baik jika kami membuat suatu kesalahan.

Kami tidak bertanya sedikitpun seperti saat sebelumnya, namun guru kami akhirnya memutuskan untuk bertanya. Dengan jam terbang yang sudah lumayan banyak, guru gue mampu menanyakan pertanyaan yang menurut gue sederhana, namun menohok. Setelah selesai bertanya, sekolah itu memberi tepuk tangan, beserta guru dan kepala sekolahnya.

Serius be like.
Dalam perjalanan study tour ini, yang membimbing hanya dua orang guru. Dibandara sebelum terbang, Kepala Sekolah sempat mengantar kami, namun tidak ikut serta. Kami cukup kecewa, setelah melihat mereka hadir dengan Kepala Sekolah-nya.

Yang bertanya dari mereka ada beberapa murid dan tentunya Kepala Sekolah, yang menambahkan pertanyaan guru kami. Saat itu juga gue salut dengan guru gue sendiri.

Disela-sela pengisi acara itu menerangkan, terdengar jelas suara meja yang jatuh. Meja-nya gabung sama kursi, taulah meja ala-ala kuliah gitu, yang meja-nya bisa dilipat. Dan kami semua menahan ketawa sambil melirik tepat dibelakang kami. Setelah beberapa waktu, saat sedang ngobrol dengan Fadil, Sahir berbisik ke gue,"Rahul,.. Psst." Gue berbalik.

"Kenapa?" tanya Gue.

"Mau hitz dan terkenal?" tanya Sahir, sambil nyengir.

"Hah?" tanya gue lagi, bingung.

"Mau terkenal?"

Gue mulai ngeh, dan bertanya kembali,"Caranya?"

"Kayak tadi," katanya sambil menengok ke perempuan belakang.

Dari dalam hati, ngga ada sama sekali niat untuk melakukan hal itu. Sampai pada suatu waktu, ketika gue lagi ngobrol dengan Fian, disamping kiri, Fadil nyolek gue. Karena kaget dan ingin tahu, gue buru-buru balik, dan seketika pengaman meja gue terlepas. Semua lalu bergerak slowmo. Gue berusaha menangkap agar tidak terjatuh dan menimbulkan perhatian. Namun gaya gravitasi saat itu berkonspirasi dengan semesta sehingga membuat meja itu lebih cepat untuk terjatuh. Bunyi papan yang keras membuat semua orang yang hening berbalik. Mata semua tertuju kepada gue. Sahir melihat gue, tertawa kecil. Gue hanya pura-pura diam, seolah tidak tau apa-apa. 

Acara berakhir, kami semua turun. Awalnya, gue mau kencing dengan yang lain. Setelah masuk pada salah satu toilet, ada seseorang yang buru-buru masuk dan menabrak lengan gue. Gue liat orangnya, dan berusaha untuk tetap tenang. Kemudian gue tersadar, seluruh toilet dikerumuni murid sekolah itu. Gue perlahan mundur, dan kembali.

Diluar, guru gue memberi sedikit keluhan karena kami tidak bertanya. Kami hanya diam, lalu beberapa dari kami berpisah. Yang lain langsung ke Bus, yang lain mencari toilet, termasuk gue. Toilet yang kami tuju berada pada sebuah bangunan kosong, gue kencing dengan perasaan menyesal. Entah apa yang disesalkan, tapi selama di Bus, itu jadi beban pikiran.

Setelah dari Universitas Brawijaya, kami mengisi perut karena waktu itu sudah siang. Perjalanan berikutnya adalah wisata ke Selecta. Awalnya, gue bersama seisi peserta study tour ngga ada yang tahu apa itu Selecta. Kami bertanya-tanya, wisata apakah Selecta ini. Bertanya kepada guru juga hanya menjelaskan sesuatu dengan membuat kami tambah bingung. Lalu, salah satu dari kami mencari informasi lewat Google. Yang muncul adalah sebuah tempat penuh bunga. Dalam pikiran gue, untuk apa kami wisata tempat yang banyak bunganya? Ditaman juga bisa, pikir gue.

Setelah sampai di Selecta, gue mulai berubah pikiran. Semua dugaan gue tentang tempat ini jadi berbeda. Di Selecta, selain taman bunga yang gue lihat dari Google, ternyata banyak wisata lain seperti beberapa wahana permainan, jajanan, permandian, serta tempat orang-orang berkumpul bersama keluarga. Tempatnya lumayan asik, atmosfernya juga menyenangkan dan tenang.

Doc. Pribadi
Pemandangan yang pertama kali gue notif adalah Flying Fox. Setelah hampir tewas di Dufan, gue sudah ngga mau lagi menyentuh wahana berbahaya. Untuk apa juga gue mengeluarkan uang untuk mati suri yang kata orang menyenangkan.

Mencoba untuk tidak lihat adalah bukan hal yang ampuh. Soalnya, teman-teman yang lain, termasuk Sahir, langsung merespon,"Eh, ada Flying Fox. Main yuk."

Beberapa merespon: "Hayuk."

Beberapa merespon: "Duluan deh. Lagi ngga pengen muntah."

Gue sendiri pura-pura tidak mendengar ajakan tersebut, hingga akhirnya Sahir mendatangi gue. Menanyakan secara frontal. Gue diam, lalu melihat wahana Flying Fox. Gue mencari alasan secepat mungkin agar tidak terlihat cemen. Lalu, gue bertanya,"Kak Tika, yang itu naik sendiri? Tidak ada pendamping?" tanya gue, menunjuk Flying Fox.

Kak Tika memasang senyum khas-nya sambil mengangguk.

Gue menelan ludah.

Gue kembali ke Sahir, lalu berkata,"Baru makan. Nanti muntah."

Sahir lalu mengajak yang lain, gue berjalan bersama para orang-orang ingin hidup yang lain. Setelah mengajak, hanya beberapa orang yang berani. Gue cukup yakin, mereka juga ragu untuk mencoba. Apalagi tidak ada pendamping. Gue nonton orang naik Flying Fox di TV mukanya senang-senang, gembira, ketawa. Kita tidak tahu apa yang terjadi dibelakang layar, teman-teman.

Kak Tika lalu datang menghampiri,"Eh, jangan naik itu. Capek naiknya." Kak Tika menunjuk arah tempat Flying Fox berhenti.

Akhirnya, tidak ada orang yang naik Flying Fox. Semua mengikuti Kak Tika. Kami berhenti pada suatu wahana yang sempat kami lihat di Dufan. Dari internet, gue tahu nama wahana itu adalah Kora-Kora. Cukup menyenangkan, pikir gue. Intinya ngga ekstrim, itu aja udah cukup untuk jadi alasan gue berani. Kami membeli karcis masing-masing, harganya jika tidak salah waktu itu 10.000/per orang. Kami menunggu orang yang sudah hampir selesai. Ternyata permainannya cukup lama, jadi untuk uang segitu kayaknya lumayan murah.

Dek kapal terisi penuh. Yang lain memilih untuk tidak naik entah dengan alasan apa. Gue duduk bagian agak belakang bersama Fadil. Sahir duduk dibagian sebelah, bersama satu keluarga keturunan Cina. Sambil mengisi penuh dek kapal, petugas memeriksa tiket, kami duduk dengan tenang, lalu menunggu Kora-Kora ini berjalan.

Naik Kora-Kora adalah hal dilematis. Disatu sisi wahana ini sangat mendukung untuk gue yang trauma wahana ekstrem, disatu sisi mata orang-orang melihat kami seakan-akan,"Bu, bu, lihat, ada om-om naik ayunan." Lalu Ibunya istigfar diiringi kepergian mereka.

Kora-Kora cukup menyenangkan, walau kadang-kadang bikin perut lemes juga. Sahir tanpa berpegang memasang ekspresi tidak tertarik. Lalu, saat mulai bosan, ia berteriak,"Tambah lagi, Om. Gas full." Lalu ia berbalik kepada kami sambil menyeringai.

Kami menyusuri seisi Selecta. Tidak ada yang benar-benar baru, namun Selecta punya cara sendiri untuk membuat gue nyaman. Sayangnya, pada waktu itu cuaca cukup dingin. Tidak ada wahana yang kami naiki setelah itu. Kami hanya berjalan-jalan, sesekali foto-foto. Sanyo dan Fian datang dan mengembalikkan kamera yang ia pinjam, katanya mau foto-foto sambil cari cewek. Gue mendukung teman dan membiarkan mereka mencari cinta mereka. Siapa tahu, ditempat yang keren dan romantis ini, mereka bisa dapat pacar, pulang-pulang mereka langsung nikah, lalu punya anak, kemudian,. Khayalan gue kayaknya berlebihan.

Jajanan yang gue coba di Selecta ini ngga macam-macam. Gue melihat banyak varian jajanan yang enak dan unik. Lalu, jajanan yang membuat gue tertarik, dan sekaligus murah adalah jajanan yang Kak Tika beli. Gue ngga terlalu tahu namanya apa, yang jelas ada cup isinya jagung yang dikasih susu dan keju. Yang lain membeli banyak sekali jajanan yang namanya saja ngga bisa gue hapal. Salah satu yang gue tahu saat itu adalah martabak. Itupun mas-masnya sempat merevisi,"Martabak manis, dek." katanya.

Kami ke bus saat waktu sudah hampir sore. Perjalanan selanjutnya harus sesegera mungkin agar tidak terlalu malam. Bus keluar dari wilayah Selecta, dan pemberhentian berikutnya adalah Museum Angkut. Bagi pecinta otomotif, Museum Angkut adalah surga dunia. Isinya berbagai macam kendaraan jaman dulu beserta cerita yang ia bawa. Tempatnya sangat luas, sampai-sampai gue udah nyerah duluan sebelum naik ke lantai dua. Pada saat itu, tempatnya ramai. Entah memang karena liburan atau emang banyak pengunjung. Tapi, menurut gue, tempatnya memang sangat keren. Mobil klasik dimana-mana, ,becak yang ditarik oleh manusia, sampai pesawat pertama yang dinaiki Soekarno.


Ditempat ini, gue sangat ingin merekam banyak. Apa daya, memori gue sudah penuh duluan. Mau hapus yang tidak penting, sudah malas juga untuk bergerak. Jadinya, gue cuma melihat. Dan sesekali berfoto. Teman jalan gue lagi-lagi adalah Fadil, ketika gue sudah mulai capek gue akan menyuruh dia untuk menunggu. Kalau gue mau foto, gue suruh dia. Juga sebaliknya.

Dilan
Dibagian atas, kami berkumpul dengan para cowok. Beberapa ada yang mencoba meng-explore sebuah pesawat. Gue dan beberapa orang yang sudah mager hanya duduk menunggu yang lain. Udara Malang cukup dingin waktu itu, langit juga mendung tidak jelas.

Setelah dari Museum Angkut, jadwal malam yang seharusnya mendatangi Alun-Alun Batu dipercepat pada waktu sore hari. Banyak orang yang memilih beristirahat di bus, namun gue dan beberapa orang yang lain memilih turun untuk alasan yang lain. Gue sendiri, ingin lebih kenal dengan Malang, berhubung gue ngga terlalu banyak tahu tentang kota ini.

Beberapa khas di kota Batu, Malang, terdapat di Alun-Alun Batu ini. Menurut gue, Alun-Alun Batu ini tempat nongkrongnya orang yang ke Malang. Banyak yang gue lihat orang-orang luar yang ada disini. Tahu darimana? Firasat.

Gue, Sahir, Fian, dan Fadil berniat untuk naik Bianglala. Lebih tepatnya niat Sahir yang (lagi-lagi) mengajak kami. Terakhir kali gue naik Bianglala itu pas SD, seingat gue. Dan gue sudah agak lupa rasanya seperti apa. Namun, jika diliat dari sisi penonton, kayaknya tidak begitu mengerikan. Wahana yang hanya berputar, juga kekuatan putarannya yang sangat lambat. Apa yang bisa dikhawatirkan.

Namun seperti halnya dugaan, semua itu bisa salah. Dan waktu itu, gue salah karena telah mengiyakan. Dari bawah dek Bianglala kami bergerak naik, belum ada apa-apa. Dari tengah, beralih naik menuju atas. Keadaan mulai mencekam. Gue tengok ke bawah, lalu istigfar. Sahir melihat ekspresi kami semua, mulai takut, yang paling parah gue. Sahir mulai membuat kami histeris dengan menggoyang-goyangkan dek bianglala.

Yang paling kampret, entah untuk apa si Bianglala ini berhenti mendadak pada saat kami berada ditengah bagian puncak. Gue tidak berharap bahwa ini sebuah kesenangan. Mungkin mereka berpikir,"Wah, ada orang dibagian atas, mari kita berhentikan mesin ini, mungkin ia akan merasa senang."

Gue mengutuk diri sendiri. Bianglala berjalan kembali, lalu perlahan turun. Semakin ia turun, gue semakin merasa nyawa gue perlahan kembali. Kami sudah berhenti, belum petugas datang, gue histeris duluan,"Buka pintu ini, Pak. Keluarkan kami. Jangan biarkan benda ini membawa kami kembali."

Dari Bianglala, kami berkeliling. Sahir dan Fian berpisah karena katanya mereka ada urusan. Tinggallah gue dan Fadil. Kami bertemu Kak Tika, bersama ia, dan Julian, kami diajak mampir makan ketan durian. Gue suka durian, tapi tidak jika sudah diolah. Jadi, gue menolak. Ia kembali mengajak kami, kali ini ke tempat susu. Katanya, susu asli disini enak. Pabriknya ada disini, dan dikemas disini. Karena tertarik, kami ikut.

Ketertarikan gue akan susu ini adalah semata-mata karena dulu, gue sering banget nonton Laptop Si Unyil, yang dalam tiap beberapa episode, ia akan jalan-jalan dipabrik manapun, lalu mencoba langsung makanan atau minumannya. Penasaran yang tumbuh dari dulu bisa terobati hari itu. Kak Tika menunjuk sebuah gudang, yang katanya disitu tempat pemerahan. Gue bertanya, susu apa yang mereka perah.

Lalu ada hening yang panjang.

Ditempat pembelian susu, kami harus mengantri dengan banyak orang. Selain susu, ada beberapa kue yang juga dijual. Tapi niat kami hanyalah susu. Gue melihat susu yang mereka jual. Ada yang sudah ditaruh dalam botol kemasan, ada yang masih hanya sekedar susu, dan beberapa tempat yang lain.

Yang minum disana juga banyak, hanya kurang enak rasanya nongkrong ditempat serame itu. Kak Tika memesan dua botol. Gue juga, Fadil juga, Julian juga. Mereka masing-masing memesan dengan rasa yang berbeda, kecuali gue yang hanya memesan rasa coklat. Sebenarnya, gue tidak memesan dua botol, namun satu botol, dan satu gelas cup.

Setelah itu, kami menemani Kak Tika membeli sesuatu di minimarket sebelum akhirnya kami kembali ke bus.

Karena sore itu sempat hujan, jalanan yang kami tempuh memantulkan cahaya yang indah. Ada dari kendaraan, lampu jalan, sampai perumahan sekitar. Menyenangkan sekali hari ini di kota Malang. Malam itu, kami check in disebuah hotel di Malang. Besok, hari terakhir kami di kota ini, di pulau Jawa.

Setelah tidur cukup dari perjalanan yang melelahkan, kami terbangun untuk perjalanan hari terakhir. Tidak banyak yang akan kami kunjungi hari ini, jadi kami bisa lumayan istirahat sebelum benar-benar pulang. Tempat terakhir yang kami kunjungi di Malang adalah Jatim Park. Dari namanya, gue sudah tahu tempat ini akan menarik.

Jalan di Jatim Park, lagi-lagi kami terpisah dari rombongan. Kalian pasti tahu, gue tersesat kali ini bersama siapa. Yah, FADIL (Lagi). Di Jatim Park. Sebelum benar-benar berpisah, kami mengambil foto bersama terlebih dahulu. Kalau bisa dibilang, Jatim Park ini adalah Dufan-nya Malang. Uniknya, di Jatim Park ini, tempat-tempatnya di beri nama negara. Jadi, setiap jalan yang diberi nama negara, akan menggambarkan negara tersebut. Entah gue sotoy, tapi kayaknya seperti itu.

Kami lumayan beruntung karena pada saat itu, ada sebuah acara yang diadakan. Jadi, ada semacam panggung yang isinya dj dan penyanyi, lalu isi penontonnya anak-anak alay yang joget sambil rese. Gue sendiri tidak mau terlibat dalam aksi joget ditengah mereka. Jadi, keputusan yang paling baik saat itu hanyalah menonton. Setelah menonton, kami baru sadar bahwa kami tidak menemukan rombongan. Kami bunyi digrup WhatsApp, dan kata beberapa orang, mereka sudah di bus, ada yang bilang lagi dalam perjalanan. Gue dan Fadil benar-benar tidak tahu sedang dimana. Kami menanyakan kemana arah untuk kembali, lalu mereka jawab,"cari saja tulisan 'exit'."

Kami mencari tulisan exit, tidak kami temukan. Kami merasa hanya berputar-putar. Gue melihat patung om Hulk yang besar. Eh, om Hulk emangnya besar yah? Ah itulah. Jadi, gue minta Fadil fotoin. Disaat sudah hilang dari rombongan, eksis tetap nomor satu.

Om Hulk lagi marah.
Kami kembali berputar karena kurang yakin dengan arah yang kami tuju. Acara sudah berhenti, dan para maskot, dj, dan seluruh yang terlibat pulang dengan konvoi menggunakan motor. Gue melihat ada yang aneh, tapi masih ragu untuk menilai. Lalu, gue menemukan keraguan gue itu. Diantara cewek-cewek cantik yang ada, terselip beberapa sepotong lelaki. Dan anehnya, orang-orang lebih banyak minta foto kepada yang,. ehm.

Gue ngga bisa menghakimi apa-apa, yang gue liat mereka juga menarik banyak perhatian. Jadi, biarlah itu jadi urusan pribadi mereka. Gue tidak berniat untuk mencampuri apa yang menjadi hak mereka. Gue hanya ingin kembali ke bus tanpa ditinggalkan.

Dengan bantuan sebuah telepon, kami akhirnya menemukan jalan kembali. Agak susah memang, tempatnya agak tersembunyi. Pembelaan dari seorang yang baru saja tersesat.

Kami berjalan, menyusuri jalan yang seharusnya membawa kami pada bus tercinta. Lalu, gue melihat bayangan bus, berwarna pink, gue berlari seperti pada film-film India. Semua tampak slow-mo, lalu samar-samar terdengar lagu India. Sungguh mengharukan.

Itulah perjalanan terakhir kami di Malang, selanjutnya kami makan siang, lalu menuju ke Surabaya untuk check in hotel lagi. Perjalanan tidak begitu banyak yang bisa gue ceritakan, selain dari tidur panjang gue. Entah kenapa, hari itu, adalah hari remuk badan untuk kami semua. Di hotel, gue hanya terdiam, istirahat, menikmati hari-hari terakhir gue disini. Jakarta sudah selesai, Jogja pun sudah, Malang baru saja. Surabaya tidak bisa termasuk bagian, ia hanya tempat singgah kami untuk pulang.

Kami disuruh bangun pagi-pagi buta, niatnya untuk berangkat ke bandara. Namun, kami hanya sarapan. Kita siap-siap jam 12 yah, kata Ibu Guru. Kami terdiam di kamar masing-masing. Gue, Fadil, dan Sanyo lagi-lagi bersama dalam sebuah kamar hotel. Tidak ada niat sama sekali untuk keluar, sekalipun gue dengar kabar akan ada yang keluar. Gue hanya akan menghabiskan waktu di kamar.

Hari itu, adalah harinya ambil foto. Kami sibuk menyalin foto-foto dari kamera, mengirim kesemua peserta, untuk satu tujuan: upload. Yah, ngga gitu juga sih. Gue mengupload foto hanya beberapa, yang lain gue rasa bagus untuk hanya ada digaleri hape gue. Tidak ada niat untuk mengupload semua. Setelah dapat perintah, kami siap-siap menuju bandara.

Di bandara Juanda, kami berkumpul. Bus menurunkan koper kami. Bawaan gue sudah sangat berat dan banyak. Sebelum check in, kami membeli kue khas Surabaya. Awalnya habis, dan berniat untuk memakai jasa kuris. Namun sebelum uang terkumpul, Surabaya Patata sudah tersedia kembali. Gue membeli dua. Niatnya, yang satu untuk keluarga, yang satu untuk teman kelas.

Kami check in, dan lagi-lagi gue hilang dari rombongan. Gue ingat kembali film Home Alone, lalu berusaha secepat mungkin menemukan mereka. Gue saat itu sangat bingung, di grup WA tidak ada balasan, Kak Tika sudah pamit bersama bus dan pihak Travelnya. Kata seorang penjaga, katanya tempat antri gue bukan disini, gue agak ngotot karena sempat melihat mereka antri disini. Lalu, gue mencoba untuk ikut perintah, gue jalan, dan menemukan tempat antrian yang disuruh.

Gue masuk kedalam, mencari dengan gelisah. Mata gue liar, pupil gue membesar, entah untuk apa gue cuma ingin menggambarkan bahwa gue benar-benar panik saat itu. Gue tidak lebih dari Cinta yang menyusul Rangga di bandara. Lalu, pada satu pandangan, akhirnya gue bertemu dengan rombongon, bersama adik kelas yang juga nyasar.

Sebelum bergabung dengan rombongan, gue berniat keluar mengambilkan jaket adik kelas yang tertinggal di bus. Awalnya, gue jelaskan bahwa bus sudah pergi, namun si adik kelas tetap ngotot dan ingin mendapatkan jaketnya kembali. Hingga pada saat dijelaskan Bu Guru, akhirnya ia pun paham dan mengikhlaskan jaketnya.

Gue rasa, hidup itu sesederhana itu. Butuh penjelasan lebih untuk ikhlas. Dari bandara Juanda, gue duduk, melihat seorang pria. duduk menunggu sambil membaca buku ditengah riuh orang-orang. Gue kagum melihatnya bisa seperti itu. Gue kalau mau baca buku, minimal harus tenang. Gue ambil kamera, lalu zoom in pada buku, saat sedang menulis ini gue baru tahu ia sedang membaca buku karangan Mira W.



Naik ke ruang tunggu, gue melewati tempat penjualan buku. Kebanyakan yang dijual buku terjemahan Inggris. Ada juga beberapa yang bahasa Indonesia. Gue melihat buku John Green terbaru saat itu, Turtles All The Way Down. Namun tidak gue beli karena masih menunggu yang terjemahan Indonesia. Gue melihat beberapa buku rekomendasi teman gue. Tidak ada yang gue beli, karena uang gue saat itu sudah hampir habis, dan gue juga sudah membeli buku bekas saat di Jogja.

Gue kembali, menunggu bersama yang lain. Pesawat kami di-delay satu jam. Kami semua agak kecewa. Gue meminjam cas dari Fadil setelah melihat ada stop kontak.

Waktu berlalu.

Kami menaiki pesawat, dan meninggalkan Surabaya. Tidak transit, dan cuma butuh dua jam lebih untuk mendarat di Kendari, Sulawesi Tenggara, tempat gue besar dan tinggal.

Pulau Jawa dan kota yang telah gue kunjungi memberi banyak pelajaran. Memberi pengalaman baru. Beberapa orang menanyakan alasan gue ikut Study Tour, Waktu itu gue cuma menjawab seadanya sesuai apa yang Mama tegaskan: pengalaman. Setelah pulang, gue mendapati punya jawaban yang lebih dari itu. Banyak sekali yang harus gue jelaskan sampai-sampai kalian harus merasakan sendiri. Ini bukan tentang bagaimana kami keliling, belanja, atau berfoto. Ini tentang apa saja yang telah dilewati. Setiap pemberhentian yang telah memberi kesan untuk kami semua.

Jakarta pada kemegahannya, Jogja pada kota yang klasik, dan Malang dengan tempatnya yang kalem dan misterius. Gue tidak bisa bilang bahwa diri gue ini sosok travel blogger. Gue menulis apa yang akan gue ceritakan. Kebetulan saja, gue ingin berbagi kisah tentang ini. Gue sempat dapat pertanyaan dari seorang teman setelah mem-posting artikel film,"Mau jadi movie blogger?"

Gue tidak ingin dikotakkan dalam satu niche atau genre. Maka dari itu, gue menulis diluar apa yang sering gue lakukan. Agar tulisan gue tidak hanya disatu titik saja.

Setelah pulang, kami naik taksi bertiga, Sahir dan Suci. Suci turun duluan dirumahnya, dan Sahir turun di rumah gue untuk singgah. Setelah sampai dirumah, gue melihat ada sesuatu yang beda. Tentang seisi rumah yang hampir asing. Gue membongkar koper, dan mulai membagikan oleh-oleh satu persatu.

Setelah semua selesai, gue kembali ke kamar, mengingat ada sesuatu yang terlupa. Sahir bertanya,"Apa itu?" Gue mengingat, ternyata tas rajut.

Gue membalas grup WA, dan kembali terkejut,"Ada lagi!"

"Apa itu?" tanya Sahir, menunggu jawaban.

"Kenangan."

Lalu kami tertawa bersama, melepas penat yang ada.


Video untuk malang tidak ada karena suatu kejadian yang jika ingin kalian baca, bisa klik di sini. Untuk itu, gue persembahkan foto dari cerita yang tidak gue masukkan. Bisa karena lupa, bisa karena malas.

Ini di selecta.


Selfie di UI!
Ini foto saat ulang tahun Bu Yenni, beberapa bulan setelah study tour.
Jangan kaget, ini bukan Rio Haryanto.

Dan ini wakt,.. oke, ngga lucu Sanyo..

Comments

  1. Deskriptif!Ini kesan yang kuydapat setelah baca semua sampai tamat. Cerita mengalir apa adanya sesuai yang dirasakan dengan penggambaran detail sacara pandangan mata. Jadi ikut ngerasain senang dan debarnya. Perkara kesasar itu bikin mendebarkan soalnya aku juga kerap ngalamain. Duh, syukurnya ponsel gak mati atau lowbatt.
    Selecta bikin mupeng, satu tempat sangat cocok untuk liburan keluarga. Jadi pengen suatu saat kelak bisa ke sana juga . Aamiin.
    Di bandara apa selalu ada toko buku? Harga normal atau mahalan? Itu bagus bagi yang lupa bawa bacaan. He he, yang baca Mira W. itu bisa buang penat dengan menunggu.
    Selamat pulang di rumah. Emang kalau kita habis meninggalkan rumah untuk waktu yang cukup[ lama akan terasa seperti ada yang beda. :D

    ReplyDelete
  2. keren tuh mobilnya, kenapa ngga dibawa pulang mas? :D piye iki

    ReplyDelete
  3. Asik nih, aku dapet gambaran lagi tentang wisata ini lagi, dan baru tahu ternyata ada hulk yang gede gitu ya, maksudnya replikasnya. Di Jogja aku pernah lihat juga, tapi gak sebesar itu, lihat foto disini kok malah kayak beneran ya..he

    Asli sih keren terlebih bisa melihat pesawat yang pertama kali dinaiki Soekarno, aku sangat suka kalau jalan-jalan di tempat seperti itu, apalagi bisa liat barang klasik. Rasa-rasanya pengen memilikinya :D

    Haha..emang selalu muntah ya, Mas kalau naik Playing Fox, btw mana foto-foto yang lainnya, Mas? Jadi penasaran aku terlebih flaying fox itu.

    Fix, itu penggantinya Dilan 2019 ya, Mas :D
    Itu kok tongkat selfienya unik gak kayak biasanya yang aku lihat ya. Apa emang yang sekarang gitu, maklum gak pernah selfie pake tongkatnya..ha

    Itu foto terakhir memang lagi tidur beneran atau gimana, Mas?
    Kok gadgetnya main nyala juga, dan sepertinya itu lagi maen game ya?

    ReplyDelete
  4. Salam kenal cuy, dari jambi kalo tau. Hahha

    Malang, jawa timur kan ya? Rekreasi di pulau jawa memang punya keasikan tersendiri. Kemarin aku jg pernah jalan-jalan gitu bareng temen. Di jogja.

    Menurutku lebih seru jalan jalan di outdoor, di banding ke mall. Wkwkkw maklum bolang.

    Btw, rasanya kaya kepanjangan nggak potingannya, soalnya aku dari hp bacanya.

    Kalo di bagi 2 part pembaca juga, jadi lebih santuy gitu, haaha, cuma saran dari org yg juga nggak ngerti.

    ReplyDelete
  5. Di atasa keren-keren fotonya, sampe akhirnya di foto terakhir. Sunguh-sungguh susah diungkapkan dengan kata2. wkwkwk

    Tempat klasik itu sih yang kece mah, apalagi pesawat yg dinaaiki pertama kali oleh presiden soekarno. Nilai sejarahany itu loh! Keren bro!

    ReplyDelete
  6. Seru banget ya ceritanya, jadi kangen deh. Kangen siapa ya xD.

    Soal mall kayaknya Kendari punya kesamaan kayak Banjarmasin deh. Soalnya di sini emang satu mall doang. Sekarang ada dua sih, tapi tetep mall satunya kurang rame. Tiap malming pada ke situ semua. Orang-orang pada keluar dari persembunyiannya, haha.

    Lah kok aku malah ngomongin mall xD

    ReplyDelete
  7. Wah, habis piknik ke SOlo deket dong ya sama tempat tinggalku, tapi sayangnya aku belum peernah ke Selecta. Emang perjalanan bersama teman teman mah menyenangkaaaan!! JAdi pingin muda lagi kalau begini. Hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts