Kaset dari Marko



Dari radio, Marko memutar siaran favoritnya. Setelah makan malam, Marko memasang batrei Walkman-nya. Tangannya memijit halus tunning agar suara yang dihasilkan jernih. Earphone yang ia gunakan baru ia beli beberapa minggu yang lalu. Dudukannya dikasur dibuat senyaman mungkin.

"Selamat malam teman-teman, pendengar setia 18 FM. Kembali lagi bareng aku, Jeni."

Itu Jeni. Marko tidak tahu kenapa ia bisa setertarik itu dengan Jeni. Itu adalah awal Maret 2006. Setelah penerimaan siswa baru, dengan perhatian yang cukup detil, pupil mata Marko sedikit membesar. Pepohonan menghalang matahari saat upacara pada barisan perempuan, sehingga pada barisan laki-laki mendapatkan bagian yang terkena sinar matahari. Meski begitu, Jeni terlihat sedikit berkeringat ketika ia berada barisan kedua dari depan. 

Sejak hari itu, Marko mulai sibuk dengan hal terkait Jeni. Ia cukup sadar dengan dirinya bahwa untuk mendekati perempuan selevel Jeni bukan hal mudah. Terutama ketika Jeni terlihat cantik. Itu adalah beban dan masalah serius. Hal itu disiasati dengan tidak terlihat lancang berkata "Aku cinta kamu." atau "Aku mau jadi pacarmu.". Dengan begitu, salah satu hal membereskan kerinduan adalah saat Marko tahu Jeni seorang penyiar.

"MARKO! GAS!" Teriak Ibu Marko dari arah dapur. 

"Tunggu, Bu!" 

"Sampai jumpa Minggu depan, yah, Dadah.."

Kemudian dari radio terputar lagu The Ballad of Mona Lisa-nya Panic! At The Disco. Menutup malam dengan banyak pikiran dari kepala Marko. Hingga ia benar-benar tahu apa yang ia pikirkan, radio masih terputar. 

Ketika waktu berputar, tidak ada yang terjadi antara Marko dan Jeni. Sebuah kesalahan yang dilakukan Marko adalah tidak pernah memulai obrolan. Padahal, saat naik ke kelas 11, semesta membuat Marko dan Jeni sekelas. Itu yang membuat Marko senang dan takut. Apa yang bisa dilakukan saat tiba-tiba dalam suatu keadaan harus berhadapan dengan Jeni. 

Pada suatu siang, matahari mulai menembus kaca jendela bagian barat, Jeni bergerak dari bangku depan menuju bagian belakang. Kemudian berhenti dibangku kedua dari belakang. Marko kaku. Jeni berhenti didepan bangkunya.

"Sejarah kamu sudah?"

Marko masih terdiam. 

Jeni kemudian kembali. Dengan perasaan yang begitu rancu, Marko tetap terdiam. Sepulang sekolah, Marko hanya memperhatikan Jeni pulang dengan jemputan. Marko pulang dengan iringan lagu Bad Days-nya Daniel Powter yang terus mengiang dikepalanya. Kemudian, ia benar-benar ragu dengan perasaannya. Apakah ini sebuah kesalahan?

Marko mencoba menebus kesalahannya, namun hari itu mereka sedang kedatangan keluarga besar. Apa yang dikerjakan Marko bersama kaset dan walkmannya mendapat kritik dari Ibunya dihadapan keluarga.

"Ini Marko! Kerjanya cuman dengar radio tiap hari." kata Ibunya, ketika memanggil Marko keluar dari kamarnya.

"Liat Ryan, Marko! Masuk jurusan IPA. Kamu ini.."

Satu hal yang tidak disukai Marko tentang Ibunya adalah momen-momen seperti ini. Ia jelas akan mulai dibanding-bandingkan. Lain lagi dengan Ayahnya, meski hanya diam, namun sekali bicara sangat membekas. Ayah Marko sekali waktu menegur Marko ketika hanya asik berada di kamarnya dengan walkman dan bacaannya. Marko hanya diam, menyimpan semua dalam hatinya.

Dorongan dari keraguan tentang dirinya membuat Marko mulai mencari pembuktian. Ia mulai belajar lewat apa yang ia sukai. Membuat blog dan menulis tentang musik. Band favoritnya adalah Maroon 5. Disana ia bisa juga suka Coldplay, Bon Jovi, sampai Frank Sinatra. Kecintaannya terhadap musik berbanding lurus dengan apa yang Jeni geluti. Untuk itu, dengan mengumpulkan niat, sebuah kaset kosong diisinya dengan beberapa lagu yang sudah ia pilih. Itu kemudian diantarkan tepat dirumah Jeni. Melempar kaset itu masuk melewati pagar kayu, kemudian menekan bel dan pergi. Seperti pahlawan difilm superhero yang tidak meminta pengakuan.

Itu seringkali ia lakukan setiap tanggal 18 setiap bulannya. Itu ia maksudkan serupa dengan tanggal kelahiran Jeni. Marko menjadikan itu penanda setiap bulannya. Dengan begitu, ia harap Jeni bisa sedikit senang. Namun kesalahan yang ia lakukan adalah tidak mencantumkan namanya. Kemudian ia juga berpikir, ia tidak mungkin mampu menulis nama untuk kemudian diberikan kepada Jeni. Itu hal yang bodoh. Lebih baik dari tupai yang melompat kemudian jatuh.

"Aku dapat paket." kata Jeni kepada Mawar sebelum pelajaran masuk.

Marko mendengar sekilas tentang kekhawatiran Jeni. Begitupula dengan Mawar yang berusaha membuat Jeni tenang dan tetap waspada. Marko merasa dirinya jadi bahan pembicaraan dalam film psikopat. Kaset yang dibicarakan adalah paket pertama berisi lagu-lagu dari Bryan Adams, Maroon 5, dan Coldplay. Marko tidak berharap apa-apa selain menebus kesalahan. Padahal, dirinya tidak pernah membuat salah selain karena gugup saat ditanya.

Tiap tanggal 18, Jeni selalu menerima paket. Jeni selalu menunggu sang pemberi kaset. Namun ia selalu gagal. Waktu paket datang selalu berubah-ubah. Pernah suatu malam dihari Sabtu, paket datang saat sudah hampir jam 12 malam. Itu membuat Jeni kaget ketika pagi Bi Sikan mengetuk pintu kamarnya dengan sebuah paket kaset berisi 13 lagu. Perlahan-lahan, Jeni mulai menganggap hal itu sebagai hal normal. Dan Marko menganggap ini sebagai sebuah ritual setiap bulan. Karena harus setiap saat mengantarkan kaset setiap bulan, ia mulai memperkaya referensi musiknya. Berkenalan dengan musik-musik indie. Kemudian selalu terdampar dengan lagu-lagu bagus lainnya. Pada saat sebelum tanggal 18 dibulan April 2008, hujan mulai mengguyur Kendari. Pohon dan rumput basah, jalan juga begitu. Aktivitas jadi terasa sangat berat dilakukan. Awan gelap dengan ribuan rintik hujan menyerbu bumi. Hal yang bisa dibanggakan adalah Kendari begitu mesra ketika hujan turun. Itu adalah dimana hari pertama, Marko dan Jeni dipertemukan untuk berbicara secara langsung.

Jeni terlihat dingin ketika Marko mulai menyapa. Mungkin, perasaannya waktu itu masih dibawa hingga sekarang. Marko mulai fasih bicara dengan perempuan. Itu dimulainya ketika berada dikelompok diskusi buku di sekolahnya. Kemampuan ia berbicara semakin baik. Namun bicara dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Keselarasan itu harus diimbangi dengan logika. Ketika itu, hujan seakan mendukung pertemuan mereka. Itu yang membuat Jeni tetap tinggal meski dalam keadaan risih.

"Jen, sudah hampir reda. Balik yuk."

Dalam hati yang penuh warna-warni, Marko ingin sekali berteriak. Wajahnya dihajar habis oleh rintik hujan, namun ia tetap tersenyum. Belokan demi belokan ia lewati dengan sigap. Jeni duduk dibelakang, sedikit cemas dengan perasaanya. Ia pikir Marko tidak seaktif ini. Dikelas menjadi orang yang selalu diam. Berbicara ketika ditanya, angkat tangan sesekali. Namun tetap pandai pada tugasnya. Tidak jarang, secara tidak langsung Jeni menyontek hasil pekerjaan Marko dari perantara temannya.

"Marko, kau tahu rumahku darimana?" tanya Jeni.

Marko diam. Ia merasa bodoh dan perasaanya tiba-tiba berubah.

"Darimana?"

Kemudian perasaan yang begitu meluap, Marko dengan segala perasaan yang ditahannya, dilindungi naungan rintik hujan mengutarakan segala perasaannya. Menyatakan dirinya sebagai sang pengirim kaset. Semua hal yang tidak ingin ia beritahu, sangat lancar diucapkan. Saat itu, gemercik hujan seakan senyap. Langit mendadak gelap dilihat seperti malam. Jeni menutup pagar menandakan satu bentuk penolakan. Marko kembali dengan motornya, memakai jaket dan helmnya. Kemudian pagar terbuka dengan suara keraguan. Jeni keluar, meski hanya sepotong kepalanya, matanya mengintip menatap Marko dengan ribuan pertanyaan dan pernyataaan. Lalu, suara keluar dari mulutnya,"Lusa tanggal 18. Jangan sampai lupa."

Langit mendadak terang. Hujan seakan berhenti berganti matahari dimusim semi. Hanya ada satu bentuk jawaban yang hanya bisa ia respon dengan senyuman.

"Untuk jaket itu, maaf. Aku banyak cucian."

Kaset berikutnya ia isi dengan rapi. Dengan bonus lagu Words-nya Gregory Alan Isakov. Tidak banyak perubahan. Hanya satu. Marko sudah berani menulis namanya.

Baca cerita pendek lainnya di ampas.coffee

Comments

  1. Ini keren, Mas.
    Lama-lama berani juga si marko nulis namanya.
    Memang sih belajar dari yang udah-udah, lama2 jadi berani.
    Kok kayak pengalamanku waktu sekolah ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih.

      Seharusnya orang2 bisa lebih baik dari Marko.

      Delete
  2. vibe tulisanmu ini kayak para penulis kumpulan cerpen kompas, gimana ya jelasinnya, ada semacam cerita lawas yang kamu bawa untuk dibaca kembali.
    jarang-jarang nih ada cerpen kayak gini, lumayan terhibur dengan karakter marko yg sebenernya rada bikin gemes, untung kan si jeni g kebawa badmood apalagi illfeel sama marko. kemajuan yg bagus marko, diem doang nanti jeni diembat orang, lunya nangis di pojokan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya mah cerpen pupuk kompos aja. Hehehe. ☺

      Delete
  3. Semangat marko, akhirnya marko makin ke sini makin berani ya. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit, perasaannnya. Haha

    ReplyDelete
  4. Wah, Marko mulai memberanikan dirinya ya.
    Semangat terus Marko, ku akan mendoakan yang terbaik deh buat kamu hehe

    btw, tadi aku baca kasetnya keset loh haha

    ReplyDelete
  5. berbicara walkman sama radio itu klasik banget, jadi suka haha
    kalo aku dulu urusan cewek to the point aja, marko ini terlalu cemen jadi cowok hihi meskipun begitu sisi maskulin markonya juga mulai berkembang hoho

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts