Kumpul-Kumpul Katharsis, Lembaga Pers Mahasiswa

Tanggal 29 September, sebelum malam Minggu, saya pergi ke Rumah Bunyi. Disana, dengan Ibu Dosen saya, Bu Ila, ada kelas menulis untuk yang mau. Ada hampir delapan orang yang ikut untuk angkatan 2018. Semuanya dari kelas genap berhubung Bu Ila ngajarnya disana.

Hari itu, kami membahas buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk karya Buya Hamka. Seharusnya, itu sudah dari minggu lalu kami diskusikan. Namun minggu lalu harus ditunda dan diganti dengan hari ini untuk membahas kisah cinta Zainuddin dan Hayati.

Setelah mendiskusikan buku, kami diberi tugas menceritakan apa yang kami alami dari bangun tidur sampai berada di Rumah Bunyi. Beberapa dari kami saling lihat-lihatan. Padahal, seharusnya tidak sulit menulis cerita seperti ini. Namun, tangan saya kaku, pikiran benar-benar tidak fokus. Kemudian saya cerita tentang bagaimana saya telat bangun dan tidak hadir mata kuliah pagi. Namun sejujurnya, hari itu ada insiden yang tidak ingin saya tuliskan.

Kami berpindah tempat, dari ruang tengah ke teras. Disana kami membaca cerita kami satu persatu. Itu dimulai dari saya sebagai satu-satunya lelaki. Dengan satu tarikan napas, saya membaca cerita itu. Yang lain menyimak, ada tawa yang coba mereka tahan. Begitupun saya. Disana, ada Atma, Isma, Novin, dan Siska.

Bu Ila pamit kedalam untuk memandikan anaknya, Ain. Disana diambil alih oleh Kak Kahar, pendiri Rumah Bunyi. Ia memberi kuis kepada kami berlima dengan hadiah sebuah buku. Menuliskan kata dari makanan favorit kami masing-masing. Yang menang adalah Siska, ketika kami salah menangkap maksud dan menulisnya dalam bentuk cerita.

Kami pamit pulang, Isma pamit ketika Bapaknya sudah menunggu. Siska menggonceng Atma, dan saya menggonceng Novin. Kami masuk kedalam kampus, di depan Kesmas, tepat di Secret Katharsis, Pers Mahasiswa. Disana diadakan kumpul-kumpul. Direncanakan dari Minggu lalu. Sudah banyak orang dan ikan sudah naik pada pembakaran. Siska pamit pulang, tak mau tinggal katanya.

Ada Arjun disana, peserta kelas Rumah Bunyi yang tidak datang. Beberapa senior juga ada, meski tidak banyak. Ada yang hanya duduk, ada juga yang sukarela menjaga ikan dan bermandikan asap.

"Ridwan mana?" Saya tanya ke Arjun.

"Tadi ada, antar Ikhy kayaknya."

Karena tahu diri baru datang, saya mencoba membantu menjaga ikan dipembakaran. Beberapa kali kami histeris ketika api menyala dan asap mulai membuat mata menjadi perih. Bakar ikan tidak susah, tapi tidak gampang. Intinya ia harus matang luar dalam. Jangan sampai api membuat ikan jadi cepat matang, namun membuat daging didalam masih berdarah. Maka dari itu, orang yang menjaga ikan itu sangat berjiwa besar.



Terbiasa makan ikan membuat saya tahu hal-hal masalah ikan. Mulai dari ikan mana yang enak, salah satunya Ikan Baronang. Meski durinya banyak, dagingnya manis dan empuk. Atau bagian mana dari ikan yang enak. Banyak. Mulai dari daging, jika ikannya besar, bagian tengah daging yang berwarna hitam itu enak. Kalau kecil, di pinggir tulang mungkin alternatif. Untuk bagian yang lain, seperti kepala, dikhususkan bagian mata dan otak adalah yang paling enak. Apalagi jika ikannya besar. Bagian perut adalah tulang didekat perut, usahakan insan sudah dibersihkan agar tak pahit. Ekor juga enak, kalau digoreng, bisa kunyah. Itulah sedikit info tentang ikan.



Ikan bakar sudah siap, kami menunggu kak Juli, ketua Katharsis yang sedang mengajar di JILC. Karena ada gitar, kami iseng bernyanyi. Disana ada Indah, Harni, Ima, saya Alfa, dan tentu saja Ridwan yang memainkan gitar. Beberapa lagu kami bawakan. Mulai dari Iwan Fals sampai Armada. Mulai dari lagu kebangsaan sampai lagu wajib. Mulai dari Pop sampai Dangdut. Saya kira, lagu adalah satu kesatuan yang asik. Tak peduli itu apa, yang penting bertujuan untuk senang. Lebih-lebih jika disenandukan bersama, dengan suka ria.

Saya, Ridwan, dan Arjun
Ketika Kak Juli datang, kami menjejerkan daun pisang sebagai wadah tempat makanan diletakkan. Ada nasi, sayur, mie, ikan bakar, dan tentu saja lomboknya. Kami makan bersama. Saling melempar guyon ditengah-tengah menyuapkan nasi kedalam mulut.

"Jangan sisa yah. Tahun lalu itu banyak sisa." kata Kak Juli.



Semuanya senang, apalagi jika perut sudah diisi. Kemudian kami membersihkan sisa dan kotoran bekas makan kami. Lalu pamit pulang, dan mengantar Atma yang sejalur. Novin sudah pulang sebelum kami makan, katanya tak enak badan. Perlu saya akui, kerinduan seperti ini sangat banyak dikepala. Apalagi bersama orang-orang yang saya kenang. Itu kemudian jadi tanda, bagaimana kami akan kumpul-kumpul kembali. Kemudian, yang ada, hanya angin malam. Dihiasi orang-orang yang sibuk dengan malam Minggunya. Beriringan membunuh waktu hingga sadar besok hari Senin lagi.

Comments

  1. kalau jd mahasiswa itu kalau lagi ngumpul pasti seru , apalagi ada makan2nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sambil diskusi ringan ato ngga gosip. Sesekali ghibah. Hehehe.

      Delete
  2. Mantap nih... kapan-kapan kalau kita ketemuan bisa nih makan ikan bareng. Secara lu tau gimana ikan-ikan yang enak. Sini ke banjarmasin kita pesta ikan. haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa banget. Undang kah, kita kopdar kesana. 😁

      Delete
  3. Hal seperti ini memang sangat dirindukan.
    Makan rame-rame gitu udah kayak tradisi di sunda, terlebih kalau lagi makan di asrama sampe panjang duh daun yang di pasang. Seru meskipun makanannya sederhana sekalipun :)

    BE kopdar gini seru kayaknya ya, Hul..

    ReplyDelete
  4. waaah, makan brg di selembar daun pisang itu emang paling asik sedunia.

    ReplyDelete
  5. Seru banget ya makan sama diatas daun gitu. Disini gak pernah ada kayak gitu. Beda tradisi sih yaa hehe. Kedengarannya nama ikannya kayak gak asing, tapi gak tau yg mana ikannya kalau disini mungkin namanya beda.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts