Terima Kasih, "Gue"

Sejak bikin blog, gue sudah menggunakan kata ganti orang pertama, yaitu: "Gue". Awalnya hanya iseng-iseng karena pengaruh tulisan Raditya Dika. Sampai mulai nyaman dan akhirnya keterusan. Blog ini bukan satu-satunya blog yang gue buat. Bukan juga blog pertama yang gue gunakan. Ada banyak pilihan waktu itu, mulai dari Rahul04, Erhael, sampai Ayam Bangkok.

Seiring berjalannya waktu, blog gue mulai menuju pada tahap yang lebih baik. Ini menjadi titik awal untuk kembali mengubah. Dengan menancapnya alamat blog domain, gue harus mulai bebenah blog secara berkala. Tampilan sudah gue ubah sesimpel mungkin, walau tulisannya masih seputar cerita sehari-hari. Update-nya juga sudah rutin seminggu sekali. Nah. Selanjutnya apa lagi?

Setelah melakukan pertapaan, gue akhirnya memutuskan untuk mengganti kata "Gue" dalam blog ini menjadi "Saya" atau "Aku. Belum ada pilihan yang jelas. Namun kedua pilihan itu sudah pasti akan menjadi pemain pengganti. Perlu banyak pertimbangan, mengingat gue bersama "Gue" di blog ini sudah hampir empat tahun. Hmm, dilema pasti timbul. Tapi pilihan pasti ada.


Alasannya sangat banyak, namun dengan jernih gue jabarkan beberapa alasan utama yang sangat berperan penting dalam berputarnya isi kepala.

1. KEYAKINAN

Gue mulai sadar, bahwa kata "Gue" di daearah gue cukup tabu. Ibaratnya, netijen memandang jokes anak Jaksel: Which Is dan Literally. Beberapa teman sering membaca blog gue. Tidak jarang berkomentar dengan kata "Gue" diblog ini. Ada kejanggalan antara pembaca dan penulis. Itu adalah karena keyakinan yang kami yakini di daerah kami.

Untuk itu, gue mulai berpikir dengan mengganti "Gue" bisa memperluas pembaca blog ini. Meski begitu, ragu pasti ada. Kaku sudah pasti. Pernah beberapa kali, karena sering menulis cerita pendek dengan menggunakan "Aku", mulai typo saat menulis di blog

Dari situ, gue berpikir bahwa ini hanya masalah kebiasaan. Mudah-mudahan benar begitu.

2. KERAGUAN

Mulai timbul keraguan. Pasalnya, apa yang dulu membuat gue senang menulis adalah karena gue senang bercerita. Dan ketika menulis dengan kata "Gue", gue seringkali berpikir, jangan-jangan rasa gue sudah berubah. Atau mungkin sudah berkembang. Bacaan gue mengubah cara gue berpikir, dan seakan-akan hal yang dulu gue senangi sudah tidak gue kenali.

Dalam hal bacaan, gue tidak rasis sama sekali. Apa saja bisa gue baca. Bacaan pertama gue saat tau membacapun hanya 26 huruf alfabet. Kemudian mulai membaca barang-barang di Warung. Mulai dari komposisi makanan hingga peringatan pada bungkusan rokok. Perlahan-lahan, gue mulai senang dengan membaca. Meski harus menangis saat belajar. Di SD, gue sering menghabiskan uang membeli buku cerita horor yang seharga dua ribuan. Sampai-sampai, gue punya koleksi satu kantong kresek yang sekarang sudah hilang entah kemana.

Masuk SMP, gue diperkenalkan dengan novel Raditya Dika. Dari novel Marmut Merah Jambu, gue mulai keranjingan baca novel. Awalnya ringan-ringan, hanya buku komedi yang membuat tulisan diblog gue tahun 2014-2017 seperti itu. 2018? Sepertinya masih begitu.

3. PILIHAN

Masuk dijurusan Sastra membuat gue bertemu dengan dosen-dosen Sastra dan keilmuannya. Salah satunya dosen gue, Ibu Ila, yang menjadi mentor gue dalam kelas menulis di Rumah Bunyi. Suatu waktu, ia pernah berkata tentang suatu hal. Apa itu yang jelas adalah alasan kenapa gue kembali berpikir. Padahal, beberapa waktu lalu juga apatis membaca tulisan bang Yoga Akbar tentang ungkapannya mengganti "Gue" ke "Saya". Rupanya, ada yang lebih kuasa dari pikiran sendiri.


Sebenarnya, tidak perlu buru-buru mengubah. Gue bisa menjalaninya secara pelan-pelan. Namun, ini harus jadi pengingat. Ini harus jadi awal untuk memulai. Seluruh cerita yang sudah ada tidak akan gue ubah. Disamping dari capek dan malas, gue ingin itu jadi kenangan bahwa gue pernah nulis seperti itu. Dan sebagai tulisan pengingat, bisa dikatakan ini adalah konferensi pers untuk blog ini.

Dengan terbitnya postingan ini, postingan yang terbit selanjutnya akan tidak memakai "Gue" lagi. Bukan tidak mungkin, "Gue" akan hadir dalam bentuk lain.

Comments

  1. Aduh, jadi enak nama saya disebut~

    Jadi di daerahmu lazimnya pakai kata "aku" buat percakapan sehari-hari, Hul? Atau ada kata ganti lain? Intinya, sih, ketika kamu yang di daerahnya cukup tabu dengan kata "gue", saya justru pengin melarikan diri dari rutinitas yang terlalu sering mengucap dan mendengar kata "gue". Oleh sebab itu, di blog jadi nyaman dan lebih sreg menggunakan "saya".

    Kadang, pengin membiasakan diri juga di ragam percakapan pakai "saya", tapi beberapa temen di sekitar jadi risih dengernya. Jadi, sejauh ini saya berusaha menyesuaikan lawan bicara aja. Yang penting dia paham apa yang saya omongin alias komunikasinya bisa tetap lancar.

    Yap, semua itu sebetulnya cuma soal kebiasaan, sih. Semoga perubahan kata ganti itu bisa menjadikan tulisanmu lebih baik. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di daerahku masih tabu dengan "gue". Kebanyakan pake "Saya" atau disingkat "Sa".

      Mudah-mudahan juga begitu. 🙂

      Delete
  2. Ha ha ha, kala ewmak-emak baca tulisan anak muda gaul yang ber-gue, malah jadi latah pakai gue juga. Sering banget gue gitu, Hul.
    Nostalgiaan saja karena emak 'kan pernah muda dan di zaman SMP sampai SMU bergue mulu.
    Cuma, kala menulis kata ganti diri di blog, emang lebih nyaman ber-saya atau ber-aku. Itu kesannya lebih melebur dengan beragam pembaca.
    Terserah Rahul nanti mau bagaimana. Emak juga akan ikutan komen sesuai kata ganti yang Rahul pakai.
    Eh, 4 tahun ngeblog itu lama banget. Baguslah tetap suka nulis dan baca. Semoga bisa meraih asa. :)

    ReplyDelete
  3. Gue uncch unchh
    Kalau di daerah saya biasanya gue itu"ambo"...

    ReplyDelete
  4. yg penting enjoy yaa ngeblognya.
    .karena enjoy itu pilihan.
    hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts