Karena Jupri



Jupri namanya. Ia lahir di sebuah desa bernama Teppo'e. Tinggal bersama pamannya yang bekerja sebagai petani. Jupri baru saja naik ke tingkat SMA saat 2003. Bisa dikatakan bahwa Jupri adalah orang yang kutu buku, meski ia selalu geram ketika dicap begitu. Menurutnya, apa yang salah dengan membaca buku. Lagipula, tidak ada yang bisa ia lakukan selain itu. Pemuda di sana kebanyakan nongkrong di pos ronda sambil main dam atau domino. Sementara Jupri bukan orang yang senang dengan hal seperti itu. Bahkan, malam itu, dengan tangan menadah kepalanya, ia hanya memperhatikan langit-langit.

Sore hari sebelumnya, dari kota datang seorang perempuan berambut bob dengan kulit kuning langsat. Perawakannya agak tua dari umurnya. Kemana-mana, ia selalu menenteng buku dan walkman. Itu yang membuat Jupri mulai tertarik ketika sebuah mobil Kijang Krista melewati surau yang sering Jupri lewati. Pak Amin, seorang petani dari desa sebelah berdecak kagum. Sampai-sampai, ia memukul bahu Jupri untuk mengungkapkan kekagumannya.

Jupri pulang dipenuhi tanda tanya di kepalanya, perasaan yang aneh di dadanya, dan kegelisahan yang dari tadi ia tahan untuk tidak terlalu mondar mandir saat berada di rumah. Buku Iwan Simatupang yang ia pegang sudah ia habiskan sebelumnya. Pikirannya rancu, untuk berpikir di luar dari perempuan itu sangat susah sekali. Pamannya sudah menyalakan api yang dibuat dari botol kaca yang diisi minyak tanah. Itu untuk dipakai menerangi ketika mereka makan. Jupri menyendok nasi, dan mengambil ikan sebagai lauk dengan mata kosong kedepan. Ia benar-benar sudah terkena sihir, pikirnya.

"Ada masalah, Pri?" tanya Paman.

"Tidak Paman, tidak ada masalah," jawab Jupri.

"Kalo ada masalah, lekaslah cerita," kata Paman.

Keesokan paginya, saat berada di sekolah, Jupri mulai mencari-cari perempuan itu. Kiranya ia berpikir bahwa perempuan itu datang disini untuk bersekolah. Ia harap benar begitu. Namun sampai sekolah dibubarkan, perempuan itu tak kunjung datang. Kemana perempuan itu? Padahal, ia ingin melihatnya.

Perjalanan menuju rumah bersama beberapa teman kelas, Jupri akhirnya pamit ketika harus berpisah jalan. Ia berbelok menuju bagian paling dekat untuk sampai ke rumah. Mengganti pakaian, kemudian duduk di bale-bale depan rumah. Pohon mangga didepan rumahnya sangat ia syukuri, karena berkat itu juga dihalaman rumahnya terasa sejuk. Meski begitu, cuaca disana memang kelewat sejuk. Kau masih bisa menemukan embun saat matahari mulai naik. Dan itu yang membuat daerah itu terlihat segar dan asri. Bahkan ketika menjelang siang, angin yang bertiup seakan mengajak orang untuk lepas dari pekerjaan dan melanjutkan mimpi semalam.

Saat sedang melihat-lihat orang berlalu lalang, ia akhirnya terkejut. Perempuan itu, bersama seorang yang lebih tua, mungkin Ibunya, terlihat berjalan tepat didepan rumahnya. Kemudian, dengan agak kebingungan seolah beradu argumen dengan Ibunya, mereka masih tepat dibagian depan rumah Jupri. Yang ia duga sebagai Ibu dari perempuan itu kemudian memanggil.

"Dek, disini warung yang dekat mana yah?"

"Oh, kalo boleh tau warung apa yah, Bu? Warung makan atau warung belanja?" tanya Jupri balik.

Perempuan itu memegang erat walkmannya, dan sesekali memperhatikan Jupri.

"Yang warung belanja, Dek."

"Oh, disitu. Warung Pak Maun."

"Bisa antar kami kesana."

"Boleh."


~o~

Jupri berjalan sedikit lebih depan, itu lebih kepada karena ia agak malu dengan perempuan itu. Tanpa banyak bicara, Jupri mengambil belokan setelah jalan utama, itu menuju warung Pak Maun yang tidak terlalu besar.

"Ini, Bu." kata Jupri.

"Makasih, Dek," kata Ibu itu,"Jangan pergi dulu yah."

"Iya, Bu."

Jupri menunggu Ibu itu masuk bersama perempuan itu. Agak lama karena masih mencari apa-apa saja yang akan mereka beli. Sampai akhirnya, Ibu keluar, membawa satu kantong kresek hitam penuh. Lalu, memberi Jupri sebotol minuman.

"Tidak perlu, Bu." kata Jupri.

"Ambil aja, Dek."

Jupri pasrah dan mengambil minuman itu. Langkahnya hampir sama, tidak lagi berjalan lebih depan. Jupri hanya diam, mendengar percakapan Ibu dan perempuan itu. Sesekali meneguk minum ketika merasa canggung.

"Makanya, kamu jangan dirumah terus, Ren." 

Perempuan itu tidak menjawab, hanya tetap berjalan.

"Coba kalo Ibu ngomong kamu denger," kata Ibu,"Karen!"

"Iya, Bu, denger." lalu perempuan itu berbalik dan mendapati Jupri yang sedang memperhatikan.

Jupri mengalihkan pandangan dan sedikit malu. Ibu itu bertanya,"Nama kamu siapa, Dek?"

"Jupri, Bu."

"Kenalin, ini Karen. Saya Ibunya." 

Lalu perempuan itu tersenyum, tipis tapi manis. Jupri membalasnya.

Jupri hampir berbelok untuk ke rumahnya, lalu Ibu itu memanggil Jupri. Ibu Karen menyuruh Jupri untuk mengajak Karen jalan atau berkeliling melihat desa. Jupri mengangguk perlahan, dan memperhatikan apakah ada ekspresi menolak dari Karen. Namun, yang sejauh ia lihat, Karen terus menunduk.

~o~

Kegelisahan Jupri semakin menggila saat menjelang malam. Apa yang bisa ia lakukan saat itu? Tidak ada. Selain menatap langit-langit kamar dan mengingat wajah dari Karen. Siang itu, banyak hal yang bisa ia katakan namun tidak. Ia hanya ragu merusak suasana yang begitu baik saat ia bisa sedekat itu dengan Karen. Suaranya yang sedikit serak, dan tatapannya yang malu-malu adalah hal yang benar-benar merusak sistem kerja otak Jupri. Kemudian Jupri tidak lagi mengingat apa-apa.

~o~

Jupri kaget, kakinya kaku tidak bisa bergerak, mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Karen datang dengan wajah yang benar-benar semringah. Ia duduk di bale-bale samping Jupri. Tanpa bicara, Karen menyodorkan  tangan, itu untuk memulai perkenalan. Jupri berkata,"Kan, kemarin sudah."

"Itukan lewat Ibuku," kata Karen.

Jupri mengambil tangan Karen,"Jupri Alan Sinatra."

"Karena Saputri, panggil saja Karen," kata Karen.

"Oh."

"Kenapa?"

"Tidak."

"Ada masalah dengan namaku?"

"Tidak, tidak," Jupri mencoba meyakinkan,"Hanya sedikit aneh, baru mendengar nama seperti itu."

"Kau akan terbiasa, percayalah."

Kemudian, suasana mulai mencair. Jupri banyak cerita setelahnya. Tentang bagaimana desa ini setiap harinya. Pekerjaan tetap yang ada disini. Sampai apa-apa saja trivia yang bisa Karen tahu. Karen juga cerita, bahwa kedatangannya disini adalah karena Ayahnya yang sedang kerja. Meninjau kerja para petani disini. Memberi panduan, ataupun segala hal yang berkaitan agar padi bisa tumbuh subur dan lebih menghasilkan. Karen bercerita tanpa ada yang ia tahan. Seakan, apa yang diceritakan itu adalah lumrah cerita seorang kawan kepada kawannya. 

"Saya akan ngajak kamu keliling. Mau?" kata Jupri.

Tanpa berkata, Karen mengangguk.

Jupri mengajak Karen melewati aspal jalan yang ada disana. Jalan beraspal hanya sedikit, hanya satu jalur yang menghubungkan ke jalan utama.

Jupri banyak mengabsen rumah-rumah yang ada disana. Kebanyakan rumah masih memakai rumah panggung. Itu biasa untuk menyimpan barang, atau padi mereka, kadang-kadang mereka memelihara anjing dibawah rumah. Jupri menunjukkan bekas gigitan dilututnya ketika waktu itu mengganggu anjing gila dibawah rumah. Jupri bisa saja rabies waktu itu, tapi disana banyak orang tua yang ahli. Dengan sedikit sentuhan, kemudian diludahi, seingat Jupri, semuanya jadi baik-baik saja.

Pohon kelapa kuning mulai terlihat banyak ketika mereka berbelok dari aspal menuju lapangan sepak bola. Lapangan itu hanya lapangan biasa yang dibuatkan gawang dari bambu dikedua sisinya. Tempat lewat sapi untuk menuju kandang. Ohya, Jupri kemudian cerita, disana juga, kebanyakan para petani menggunakan sapi untuk membajak sawah. Maka dari itu, memelihara sapi adalah hal yang sangat lumrah. Bukan karena kaya, tapi lebih untuk kebutuhan bertani.

Karen tidak banyak bicara lagi, ia hanya menyimak bak anak SD yang sedang menjadi murid study tour. Ketika berada ditengah-tengah lapangan, Jupri mengajak Karen untuk masuk ke dalam hutan. Langit masih terlalu cerah untuk pulang. Jupri berjalan didepan untuk memotong dan membuat jalan agar Karen tidak terhalang alang-alang. Aroma hutan benar-benar membuat Karen mudah tersenyum. Tanah yang lembab, serta dahan yang masih basah karena embun semalam. Itu benar-benar dirasakan mereka berdua. Kemudian, Jupri tidak banyak bicara, ia hanya membawa Karen berkeliling melihat hutan. 

"Hati-hati, banyak babi hutan," kata Jupri mencoba menakuti Karen.

"Iii..ih," Karen memperhatikan sekeliling.

"Kamu senang baca?" kemudian Karen bertanya.

"Tahu darimana?"

"Kemarin, aku melihatmu memegang buku? Buku apa itu?" tanya Karen.

"Oh, itu, Anne Karenina, dari guruku," katanya.

"Tolstoy, bukan?" 

"Tepat sekali."

Jupri mengajak Karen untuk ke Sawah. Itu jauh, namun kalau memotong jalan lewat hutan itu hanya beberapa menit. Disana, tidak terlalu luas. Yang luas harus memakai motor. Juga itu bukan punya Paman Jupri. Namun, itu setidaknya bisa ia perlihatkan kepada Karen. Dibeberapa kesempatan seperti saat ini, kita bisa melihat sekawanan burung yang berada didahan pohon. Bukit yang ada dibalik hutan juga menambah keindahan. Tekstur tanah mulai berubah. Dari yang tadinya lembab menjadi lembek dan berair. Jupri mengajak Karen melewati pinggiran sawah. Itu untuk keujung dimana ada sebuah dangau. Terletak beberpaa orang-orangan sawah juga. Jupri kembali cerewet menjelaskan. Dan sebagai pendengar yang baik, Karen hanya berfokus pada apa yang Jupri katakan. Meski begitu, Karen sempat bertanya,"Kalo besar kamu mau jadi petani?"

Jupri terdiam.

"Sepertinya tidak. Saya mau menulis. Banyak yang perlu dan menarik untuk ditulis disini," kata Jupri.

"Wah, kalau begitu, aku ingin disini bersamamu. Menemanimu menulis. Tapi,.."

"Tapi kenapa?" tanya Jupri.

"Aku harus kembali. Ayahku akan pulang seminggu lagi."


Karena terlalu jauh dan lama, mereka kemudian keluar. Melewati lapangan yang sudah banyak anak mudah sedang bermain sepak bola. Kebanyakan teman sekolah Jupri yang menganggunya. Banyak dari mereka yang mencoba menunjukkan esksistensinya. Terutama yang sedang buka baju. Jupri hanya mencoba menuntun Karen agar lebih cepat sampai di rumah.

"Jupri, bolehkah kami kenal dengannnya?" kata teman Jupri, seolah melogat bahasa perkotaan.

Saat sudah melewati lapangan, Jupri tidak melihat kebelakang. Namun suara cieeee dan suit suit sangat jelas menggema diudara.

Jupri pulang, namun terlebih dulu mengantarkan Karen sampai ke rumahnya. Itu lumayan dekat dengan rumahnya. Ada tiga petak disamping rumahnya. Karen tinggal dengan keluarga Bu Dirsa. Karen masuk. Disana tidak ada orang diteras maupun halaman. Kata Karen, Ayahnya sedang keluar, sementara Ibunya sedang pergi dengan Bu Dirsa.

"Daripada bingung di rumah, mending ke rumah kamu," kata Karen.

"Saya pulang dulu, yah. Takut Paman cari." kata Jupri.

~o~

Kokok ayam begitu nyaring terdengar dari pintu belakang. Jupri bergerak untuk pergi bersekolah. Di sekolah, ia melewati hal-hal yang begitu aneh. Segala aktivitas disekelilingnya tidak asing untuk ia lihat.Saat pulang, ia benar-benar merasa aneh ketika dirinya tanpa sengaja bergerak menuju bale-bale dengan buku ditangannya. Seorang Ibu dan perempuan datang, bertanya,"Dek, disini warung yang dekat mana yah?"

Baca cerita pendek lainnya di ampas.coffee

Comments

  1. Endingnyaaa hmmmmmmmmmmmmmm. Kaget, sudah serius baca dipertengahan dan berpikir endingnya mereka bakalan berpisah, ternyata itu mimpi, dan menjadi dejavu bagi Jupri :') Gak nyangka lah

    ReplyDelete
  2. Kalau temen2nya Jupri kenalan dulu agak lama kayaknya itu :D
    Jupri itu kau ya hul. Aku merasa gitu. Asik juga.
    Bingung sebenarnya mau komen apa aku hul :D
    Udah 3x baca juga..

    ReplyDelete
  3. Sy jadi penasaran desa teppo'e itu daerah sulsel bagian mama yah😁

    Cerpen lumayan puanjang tenyata eh ternyata ini toh yg namanya mimpi menjelma nyata. Jd inget pernah bikin cerpen berdasarkan cerita dalam mimpiku😅

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts