Angkot Burhan

Ilustrasi dari Revi.us

Aku bisa mendengar, melihat, merasakan, namun tidak dengan yang satu ini. Kurasa ini benar-benar mempersulit diriku. Untungnya, aku mulai terbiasa dan tidak lagi menjadi beban yang berarti. Itu adalah hari Jumat di akhir November, pagi dimana istriku yang sekarang sudah pergi dengan lelaki lain, membuatkan aku kopi dengan sebuah campuran yang membuat suaraku lenyap selamanya.

Anakku, Arum, sekarang sudah duduk di kelas 3 Sekolah Dasar yang tidak jauh dari rumah. Sebagai orang tua yang diwajibkan bertanggung jawab, aku benar-benar harus melakukan segala yang terbaik untuk Arum. Kadang-kadang, harus melawan lapar dan dunia.

Orang-orang mengatakan diriku penyabar. Aku marah. Meski hanya dalam hati. Mereka tidak tahu rasanya menjelaskan untuk ditertawai. Dan bagaimana rasanya menanggung malu ketika anak sudah terlanjut malu. Aku kira harus banyak bersyukur ketika anakku dianugerahi rasa toleransi yang baik untuk Bapaknya. Namun tidak. Itu normal untuk merasa aneh. Ketika mempunyai seorang Bapak bisu dengan pekerjaan menjadi supir angkot.

Setiap hari, aku sudah melek setelah adzan shubuh. Membuat kopi dan sarapan untuk Arum, kemudian membuatnya terbangun untuk berangkat ke sekolah. Setiap pagi, kami selalu mengawali dengan ketentraman Bapak-Anak senormalnya keluarga. Itu setelah aku membelikan Arum baju sekolah yang baru.

Angkotku berhenti tiga puluh meter sebelum gerbang sekolah, kemudian menurunkan Arum. Dibelakangnya, sudah ada dua Ibu-Ibu penjual dari pelelangan ikan membawa dua ember penuh ikan, termasuk cakalang yang sering kulihat, untuk dijual. Mukanya penuh bedak tumbuk berwarna kuning. Salah satu kesamaan aku dengan ibu-ibu itu adalah sama-sama membawa handuk kecil yang dililitkan pada leher. Ibu itu turun di depan pelelangan ikan, ada dua anak SMP yang baru saja masuk. Mereka banyak bercerita tentang gurunya yang kejam. Itu membuatku rindu dengan masaku bersekolah lagi. Hal-hal yang menjadi hiburanku memang sesederhana obrolan dikursi penumpang. Kadang-kadang, yang mengisi kursi depan mengajak aku ngobrol. Kadang juga diam hingga benar-benar turun ditujuan. Jika diamati, karakter orang memang lucu. Selucu dunia ini.

Anak SMP itu turun dan memberiku uang lima ribu rupiah. Tanpa bicara, aku menunjuk mereka berdua. Dan mereka seketika paham. Kumajukan mobilku untuk kembali bekerja. Pagi menuju Siang, tidak banyak yang bisa kuhasilkan. Sudah tiga kali memutar hanya menghasilkan uang bensin. Tidak ada uang untuk bisa mengisi perut. Aku mulai panik, soalnya beberapa hari yang lalu, uang sudah kupakai membayar kosan dan beberapa jam lagi, Arum harus kujemput dan membelikannya makanan. Aduh, sial, apa yang harus aku katakan. Setidaknya, lima atau tujuh orang lagi harus kuangkut agar bisa memberi makan Arum. Tuhan, sekali lagi, aku tidak bermaksud menghina.

Sampai satu putaran penuh, hanya dua penumpang yang kuangkut. Seorang ibu tua dan seorang bapak yang kuperkirakan adalah suaminya. Tangannya tidak lepas dari cengkaraman lengan suami. Oh, aku rindu hal-hal itu. Istriku, Hayati, meninggalkanku dengan seorang lelaki lain. Maksudnya, seorang Om-Om beruang. Seandainya, aku tidak seidealis dulu, aku juga bisa lebih baik dari sekarang. Aku pikir sastra mampu membawaku menjadi seorang sastrawan besar macam Tolstoy ataupun Pram. Jangankan menjadi sastrawan, supir angkot saja sudah bersyukur. Keterampilan menulis dan berpikir tidak lagi banyak berguna. Idealisku perlahan memudar. Sekarang malah aku ingin memperdalam ilmu akuntansiku. Bagaimana memprediksi kekayaanku 50 tahun yang akan datang. Kupikir itu juga sia-sia.

Beberapa buku telah kujual, hanya beberapa yang masih kusimpan. Itu lebih karena punya nilai memori disana. Padahal, jika mau, keinginan membuka perpustakaan mini untuk warga setempat bisa saja terlaksana oleh buku yang aku koleksi sewaktu muda. Namun, ekonomi diatas segalanya. Aku melelang buku itu kepada mahasiswa yang kutemui dijalan. Aku membandrol dengan harga semurah mungkin. Kemudian, itu bisa membuatku hidup hinga beberapa hari.

***

"Sudah kubilang Ibu! Aku ingin tetap disini!" 

"Mau jadi apa kau nanti?"

"Aku bisa menulis, Ibu. Percayalah. Sekolah duluku beberapa kali membuat tulisanku berada di majalah dinding."

"Terserah, Burhan! Ibu harap, Sastra bisa membuatmu hidup!"

***

Dari pembelokan rumah sakit Siti Aisyah, aku mengambil untuk menuju sekolah anakku. Kebetulan, disana agak ramai dan macet. Setelah lewat dari jalan Baronang, aku melihat ada yang tidak biasa. Sekumpulan orang dijalan terlihat lumayan ramai, kemungkinan terjadi ricuh, pikirku. Saat angkot mulai mendekat, aku melihat darah berceceran, tergenang ditengah jalan. Sudah kental berwarna gelap. Aku bisa melihat pantulan dari refleksi darah itu. Aroma pekatnya juga benar-benar menusuk hidungku. Komar, kawanku yang bekerja jadi tukang becak berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Tak bisa kata menjadi jelas diucapnya.

"Han, Arr.. rum," katanya.

"Hehafa," tanyaku, yang artinya,"Kenapa?"

"Arum, Han. Ditabrak. Ditabrak, Han."

Aku tidak menjawab. Badanku serasa ingin lepas, memisahkan diri. Kepalaku pening, pendanganku kosong. Aku masih mencerna baik-baik perkataan Komar dan bertanya tentang kebenaran yang seharusnya tidak perlu kupertanyakan lagi. Komar naik dibangku sebelah, setelah berkata Arum dibawah ke rumah sakit Siti Aisyah.

Mobilku masuk kedalam area parkir yang semestinya mungkin tidak diperbolehkan. Aku berlari dengan bingung, dipimpin oleh Komar yang berada disamping kiriku. Setelah dari resepsionis, mereka ke lorong kanan ujung. Itulah pertama kali aku melihat ruang ICU.

***

Seorang dokter kutemui untuk memperjelas semua yang belum kuketahui. Dari name tag-nya aku bisa tahu namanya Wayan Sugito. Katanya, Arum mengalami banyak pendarahan akibat bocornya kulit kepala, dan robeknya lengan kanan. Itu bukan masalah kata dokter setelah tahu darah Burhan bisa didonorkan kepada Arum. Setelah nada yang amat panjang, hening yang menjelma menjadi satuan detak bunyi jam dinding, Dokter Wayan berkata,"Aku ragu. Ragu."

Aku kaget, bingung, dan Komarlah yang menjadi pengalih-bahasaku. 

"Dari hasil benturan yang dialami anak Anda. Ada sedikit yang saya ragukan dari gejala yang akan timbul," kata Dokter Wayan.

"Apa itu, Dokter?"

"Aku ragu ia akan amnsesia."

Aku pusing. Pusing dengan keadaan Arum. Pusing dengan biaya Rumah Sakit.

***

Lima hari berlalu setelah Arum tak sadarkan diri, pada sebuah malam ia kemudian bisa membuka mata. Mengeluarkan air mata, dan tidur kembali. Infus yang dialiri makanan dilepas ketika pagi. Arum sudah mulai lebih segar dari semalam. Bubur yang dibawakan oleh seorang Suster bernama Yesi dimakannya dengan suapanku. Aku sudah berpikir bahwa hari itu akan menarik saat siang hari. Komar akan datang siang itu, ia sudah berjanji sejak Arum berada disini, ia akan menjaganya untukku selama aku bekerja. Peduli setan dengan dirinya. Ia tidak keberatan, mengingat istrinya juga meninggalkannya dari dunia.

Arum tidak memanggilku "Bapak" seperti biasanya. Ia masih terdiam diranjangnya. Matanya hanya kesana kemari saat pertama kali ia membuka mata. Aku ingin bertanya, namun tidak ingin banyak menganggunya. Kemudian ia melihatku. 

"Aku mau Pipis, Om." kata Arum.

***

Kuberi tahu Komar saat ia datang. Aku benar-benar sedih dan mencoba meluapkan segalanya. Air mataku pecah saat mengantarnya ke kamar mandi. Aku benar-benar ragu akan semunya. Katakan padaku kau bercanda, Arum. Katakan. Segala yang ada di dunia ini seakan hilang fungsinya. Dunia merenggut segala yang kupunya.

Setelah pulang dari bekerja, aku mengunjungi Rumah Sakit dan mendapati Komar sedang membaca buku yang kupinjamkan. Aku tidak tahu lagi, bagaimana harus bersikap kepada Arum. Komar mengajakku merokok diluar, dan membiarkan Arum beristirahat.

Asap ditelan gelap malam dari mulutku yang bisu. Komar berkata,"Han, Arum tadi memanggilku Bapak."

Aku berbalik kepada Komar. Memperjelas semuanya. Katanya, ia sudah mencoba untuk menjelaskan, namun bibirnya terus membisu. Komar tidak mengerti dengan segala yang ia alami. Dari malam itu, aku sudah hampir bunuh diri dengan beban yang sudah minta dilepaskan. Istriku pergi meninggalkanku, begitu juga dengan suaraku, anakku tidak lagi mengenalku dan menganggap Komar sebagai Ayahnya. Dengan kondisi seperti ini, aku tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya. Kuberi tahu Komar untuk merawat Arum. Tiga malam berikutnya, aku pergi meninggalkan Komar dan Arum. Kutemui istri Komar, keceritakan segala macam persoalanku dengan pisang goreng, teh hangat, dan tawa. Saat sampai pada bagian dimana Arum telah melupakanku, kami mulai berhenti tertawa.

Baca cerita pendek lainnya di ampas.coffee

Comments

  1. Errrrrrrr, si Arum akhirnya amnesia ya :' dan malah komar yang dikira bapaknya. Sedih juga sih ini :'

    Jago yaaa andaa membuat cerpen :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts